#KOPITALISME
Oleh Agung Marsudi
RAKYAT dipaksa sabar tentang “matahari kembar”. Sebab hukum rimba suka-suka yang berkuasa. Diskusi tentang negeri ini baru bisa menohok, dan serius, jika ditemani telo “menyok” rebus.
Hubungan “kopi+kapitalisme” seperti negara yang tak pernah romantis kepada rakyatnya. Meski kedaulatan milik rakyat, tapi fakta obyektifnya tidak “di tangan rakyat”. Kekuasaan selezat-lezatnya telah diambil alih oleh partai-partai politik. Di pasar modern, demokrasi adalah kapitalisme kekuasaan. Sedang di pasar tradisional, demokrasi dijual seharga segelas kopi. Itupun dibayar dengan janji.
Kabar dari istana, presiden mulai gelisah dengan kondisi ekonomi yang makin parah. Sementara perut rakyat tak mungkin dibiarkan keroncongan. Indonesia akan makmur, jika pejabatnya tak bisa tidur. Keringat para petinggi menetes deras, lemes dan kuyu mukanya karena berhari-hari tidak tidur. Semua akan “direshuffle” pada waktunya.
Untuk menaikkan daya beli, mungkin bisa diterbitkan “Kartu Indonesia Belanja”, biar rakyat pada ramai blanja-blanji, bela-beli. Kopi rasa nasionalisme itu kehormatan yang dilupakan, sedang kapitalisme dirancang untuk memperkuat perang dagang.
Cafe-cafe rasa kapitalisme bertumbuhan seperti jamur di musim hujan. Di kantor wakil rakyat, kantor-kantor pemerintahan, mall, kampus-kampus, di bangunan-bangunan cagar budaya, di simpang-simpang jalan monumen perjuangan.
Kohesi politik kopi dan kapitalisme meminta “Americano” disuguhkan di meja istana, dan rapat-rapat paripurna. Padahal “Indonesiano”, adalah kopi terbaik milik bangsa sendiri.
Kopitalisme mengatur kontraksi, pahit getir ekonomi. Dijawab para sopir truk pengangkut kopi, “Kuat dilakoni, ra kuat ditinggal ngopi”.
Ngawi, 4 Mei 2025