Sutoyo Abadi | IST
Sutoyo Abadi | IST

Menanamkan Kesadaran Sebelum Mengajarkan Perlawanan

—- Sutoyo Abadi : 04.05.2025

Kajian Politik Merah Putih pada malam Jum’at Wage (1/05 ) diskusi mutar – muter ambil cerita nyata seorang pendekar/aktifis dengan ikhlas sedang berjuang membebaskan rakyat dari kebiadaban ambil tanah dengan cara paksa dan kekerasan khususnya tragedi Banten dan Rempang justru mendapatkan perlawanan dari mereka yang sedang di perjuangkan.

Ditengarai para pejuang ( aktifis ) yang makin menipis saat ini ambil referensi dari renungan mendalam Tuan Guru Syeh Khalil bin Ahmad, memberi tahu kita bahwa ada empat tipe kelompok manusia :

– Orang yang mengetahui bahwa dirinya mengerti itulah *orang alim*.
– Orang mengerti tetapi ia tidak mengerti bahwa dirinya mengerti itulah *orang tertidur – bangunkan*
– Orang tidak mengerti dan dia mengerti dirinya tidaak mengerti itulah *orang bodoh – butuh petunjuk dan pengajaran.*
– Orang tidak mengerti namun ia tidak mengerti bahwa dirinya tidak mengerti itu orang bodoh – *jauhilah* karena kelompok ini justru akan melawan.

Masuk kelompok ketiga pun tidak – ternyata terjerembab di kelompok ke empat, pantesan setiap hari ada pejuang yang mengingatkan bahwa “kalian saya ingatkan sedang dijajah bergeraklah melawan karena tidak akan ada yang menolong kalian, responnya justru balik melawan  sebagai orang bego atau tolol”.

Kelompok pertama biasanya dihuni kaum Idealisme pejuang sejati nasibnya kadang seperti menangnya orang yang kalah. Karena seorang idealis sejati akan memilih kalah sekalipun harus hancur agar mendapatkan kemuliaan hidup.

Perjuangan bagi idealisme adalah ketika posisi dirinya selalu berada pada nilai kebenaran. Upaya mempertahankan idealisme baginya begitu menawan karena itu dirinya menggelandang terus menerus berziarah pada makna kemanusiaan, terus berselancar pada nilai keadilan dan kebenaran sejati.

Seorang idealis butuh kesabaran dalam menyusuri tepian – tepian akhir untuk memanusiakan manusia, justru sering berakhir mati karena di bunuh oleh orang bodoh yang sedang di perjuangkan agar bisa keluar dari penderita karena kebodohannya.

Mereka yang memperjuangkan rakyat tertindas tanpa meminta imbalan sering mati di tangan mereka sendiri. Bukan karena jahat, tapi karena rakyat terlalu lama memelihara kebodohan, ketololan dan ketakutannya.

Sejarah terus berulang bukan hanya tentang siapa yang berjuang, tapi juga tentang untuk siapa perjuangan itu ditujukan. Ketika beberapa aktifis dengan gigih memperjuangkan rakyat dari kekejaman ambil dengan paksa tanah mereka oleh penjajah gaya baru saat ini kembali datang di Nusantara.

Seperti aktifis yang sedang memperjuangkan rakyat Banten dari kekejaman Aguan, justru mendapat perlawanan dari mereka yang sedang di perjuangkan. Demikian terjadi di Rempang dan daerah lainnya.

Inilah keadaan yang menghantui banyaknya pejuang dari zaman ke zaman: Layakkah rakyat yang belum sadar untuk diperjuangkan?

Muhammad Rasyid Ridha pernah berkata getir: “Berjuang demi masyarakat yang bodoh, seperti menyalakan api di tubuhmu sendiri agar bisa menerangi jalan bagi orang buta.”

Tapi  api itu pun tak dilirik, karena orang buta lebih memilih kegelapan yang nyaman daripada cahaya yang memaksa mereka membuka mata.

Rakyat yang belum tercerahkan tidak mengenali pahlawannya. Kadang mereka menjadi budak penjajah hanya karena membawa uang dan  beras. Mereka mencibir ajakan melawan kekejaman, ketidakadilan dan perampasan tanah rakyat karena cinta dunia dan takut mati.

Dalam sejarah perjuangan selalu terjadi yang paling duluan mati bukanlah si tiran, tapi orang yang mencoba membangunkan rakyat dari tidur panjangnya.

Dan pada akhirnya, kita harus merenung ulang: Perjuangan bukan hanya tentang keberanian mengangkat senjata, tapi tentang keberanian bersabar menanam kesadaran dan menghilangkan kebodohan

Sebab tanpa penyadaran, revolusi hanya akan jadi pertunjukan sepi jadi komoditas orang hanya menonton bahkan teriak galak dari kamar mandi seperti pahlawan ternyata pecundang pemburu recehan dan sesuap nasi. Manusia yang tidak mengerti bahwa dirinya tidak mengerti.

Dan sejarah akan kembali menulisnya… bukan dengan tinta emas, tapi dengan darah pahlawan yang dikhianati oleh ketidaktahuan dan kebodohannya.

Sekuat apa pun jihad konstitusi hasilnya akan hambar, ketika berhadapan dengan oligarki kekuasaan, dan politik yang kering kesadaran cita-cita luhur bangsa.”
(Haedar Nashir)

Demikian orang bijak dan Arif selalu muncul tidak membawa pedang untuk melawan tetapi dengan sabar masuk dan keluar kampung menyebarkannya dan mengajarkan ke seluruh penjuru Nusantara, menanamkan kesadaran sebelum mengajarkan perlawanan.

Rakyat yang  jiwanya telah tercerahkan itulah yang akan bangkit melawan ketidak adilan bertaruh nyawa. Kesadaran itulah yang membentuk rakyat menjadi bangsa. Dan bangsa yang sadar, meski lambat bangkit, akan berdiri lebih tegak. Itulah akar dari kemerdekaan yang sejati.(*)