JAKARTASATU.COM – Di sebuah pabrik besar di pinggiran kota, seorang buruh bernama Andi (bukan nama sebenarnya) setiap hari datang sebelum matahari terbit. Mengenakan seragam yang sama lusuhnya dengan nasib yang ia emban, Andi bekerja selama 12 jam dengan upah yang bahkan tak menyentuh angka UMP. Ia bukan pegawai tetap. Bukan pula pegawai kontrak yang pasti. Ia hanya ‘tenaga alih daya’. Orang luar dalam dunia kerja yang diciptakan dari celah hukum bernama outsourcing.
Sejak Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lahir, sistem kerja outsourcing mulai menjamur. Dulu, kontrak kerja masih memberi harapan: tiga bulan masa percobaan, lalu peluang diangkat jadi pegawai tetap. Kini, harapan itu menguap digantikan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang bisa diperpanjang semaunya.
Lebih dari dua dekade kemudian, lewat apa yang disebut pemerintah sebagai reformasi struktural, hadir UU Cipta Kerja atau Omnibuslaw. Sistem outsourcing dirombak, tidak untuk mengerucut, tetapi justru melebar. Jika sebelumnya hanya lima jenis pekerjaan yang diperbolehkan dialihdayakan—seperti sekuriti, cleaning service, katering, sopir, dan tambang—kini hampir semua lini pekerjaan bisa masuk dalam jerat alih daya. Bahkan core business sekalipun. Kontrak kerja pun tidak lagi dibatasi jumlahnya. Tak ada limit dua kali seperti dulu. Artinya: pekerja bisa terjebak dalam kontrak seumur hidup tanpa kepastian status.
“Kontrak seumur hidup. Tanpa jenjang karir. Tanpa jaminan. Tanpa masa depan.”
Demikian bunyi peringatan tegas dari Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), dalam siaran persnya yang mengguncang kesadaran.
Perbudakan Berganti Nama
Menurut ASPIRASI, praktik outsourcing hari ini tak hanya melanggar regulasi, tetapi juga mencederai kemanusiaan. Istilah ‘alih daya’ tampak rapi secara nomenklatur, namun di lapangan menjelma menjadi wajah baru dari perbudakan modern.
Mirah membeberkan sejumlah pelanggaran yang mengerikan:
Pungutan liar dalam rekrutmen: Pekerja diminta membayar antara Rp10 hingga Rp25 juta hanya agar bisa dipekerjakan. Dana itu diduga mengalir ke kantong direksi atau manajer perusahaan pemberi kerja.
Konflik kepentingan: Direktur dan General Manager perusahaan pemberi kerja mendirikan perusahaan outsourcing sendiri, lalu menunjuknya sebagai penyedia tenaga kerja.
Peran ormas dan aparat: Proses rekrutmen bahkan melibatkan oknum TNI, Polri, hingga RT/RW. Tidak sedikit pula pimpinan serikat pekerja yang justru memiliki perusahaan outsourcing sendiri.
Izin usaha fiktif: Banyak perusahaan outsourcing beroperasi dengan izin koperasi simpan pinjam atau entitas non-PT yang jelas tidak sesuai dengan hukum ketenagakerjaan.
Lalu bagaimana nasib para pekerja?
Mereka bekerja tanpa BPJS, tanpa THR, tanpa pelatihan. Gaji tak menentu, PHK semena-mena, dan hak berserikat dikebiri. Tak jarang pula terjadi kekerasan verbal, seksual, mutasi sepihak, jam kerja di luar batas undang-undang tanpa uang lembur. Bahkan salinan kontrak kerja pun tak diberikan—seolah hubungan kerja berlangsung di ruang hampa hukum.
Buruh Kini Tak Lagi Memimpikan Masa Depan
Yang paling menyayat hati adalah hilangnya masa depan. “Sangat mudah di-PHK dan tidak diberikan pesangon,” ujar Mirah. “Tak ada perlindungan K3, tak ada karir, dan tak ada jaminan sosial. Maka kalau kondisi ini terus dibiarkan, outsourcing tak ubahnya perbudakan modern.”
ASPIRASI tidak menutup mata bahwa ada segelintir perusahaan outsourcing yang patuh hukum. Misalnya di sektor kebersihan dan keamanan, beberapa perusahaan tetap memberi upah layak, menjamin BPJS, serta memberikan pelatihan. Tapi mereka adalah pengecualian, bukan aturan.
“Masalahnya,” kata Mirah, “yang terjadi di lapangan justru sebaliknya: pelanggaran terjadi secara sistemik, dan banyak dilakukan perusahaan besar, termasuk BUMN.”
Jalan Panjang Menuju Pemulihan Keadilan
ASPIRASI mendesak pemerintah untuk tidak menutup mata terhadap praktik penyimpangan ini. “Negara tidak boleh kalah oleh sistem yang mencelakai rakyatnya sendiri,” tegas Mirah. Dibutuhkan regulasi yang tegas, pengawasan yang nyata, dan keberpihakan yang jelas terhadap pekerja. Bukan hanya di atas kertas, tetapi hadir dalam praktik.
Tentu perubahan tidak bisa dilakukan dalam semalam. Tapi satu hal yang harus kita sepakati: manusia bukan komoditas. Mereka punya hak, martabat, dan masa depan. Sistem ketenagakerjaan bukan mesin penghisap, melainkan fondasi kesejahteraan bangsa.
Ketika pekerjaan berubah menjadi jerat, dan upaya bertahan hidup malah mendekatkan pada kematian sosial, kita patut bertanya: apakah ini kemajuan yang dijanjikan? Ataukah kita sedang mundur, perlahan namun pasti, ke zaman ketika manusia diperjualbelikan?
Outsourcing, atau apapun namanya, tidak boleh menjadi alat eksploitasi. Ia harus diatur, diawasi, dan diaudit. Karena di balik selembar seragam lusuh, ada keluarga yang menunggu, ada anak-anak yang bermimpi, dan ada Indonesia yang lebih adil yang seharusnya kita perjuangkan. |WAW-JAKSAT
JAKARTASATU.COM- Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya dialog budaya dalam menjaga identitas bangsa dan keberagaman di dunia multipolar, khususnya di tengah...
JAKARTASATU.COM- Ratusan orang yang menamakam diri Barisan Muda Indonesia Raya mendesak Ketum Partai Golkar Bahlil Lahadalia memberhentikan Cek Endra sebagai Ketua DPD Golkar Provinsi...
MELURUSKAN HUBUNGAN SIPIL-MILITER DI ERA DEMOKRASI
Oleh: Radhar Tribaskoro
Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Dalam sejarah panjang Republik Indonesia, hubungan antara masyarakat sipil dan militer tidak...
Peduli Kesehatan Ibu dan Bayi, Satgas TMMD Gelar Posyandu dan Berikan Makanan Tambahan
JAKARTASATU.COM- Satuan Tugas TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-124 Kodim 1710/Mimika terus...
JAKARTASATU.COM- Aliansi Buruh Indonesia Anti Perang dan Penjajahan menggelar aksi pada Kamis (15/5/2025) untuk memperingati 77 tahun Nakba, sebuah peristiwa tragis yang menandai pembersihan...