JAKARTASATU.COM– Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) mengeluarkan pernyataan pers yang mengecam praktik sistem kerja alih daya atau outsourcing yang dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka menyoroti berbagai penyimpangan yang terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hingga Undang-Undang Cipta Kerja.
Ketua Umum ASPIRASI, Mirah Sumirat, dalam keterangan tertulisnya kepada media, menjelaskan bahwa sebelum UU No. 13/2003, pekerja memiliki kesempatan menjadi pekerja tetap setelah masa percobaan. Namun, sejak UU tersebut lahir, praktik outsourcing mulai marak. Awalnya, UU No. 13/2003 membatasi hanya lima jenis pekerjaan penunjang yang boleh di-outsourcing-kan, yaitu security, cleaning service, catering, pengemudi, dan pertambangan.
“Namun praktiknya, masih banyak jenis pekerjaan di luar lima jenis pekerjaan tersebut di atas dibuat outsourcing, dan ajaibnya pelanggaran outsourcing dilakukan juga oleh perusahaan sekelas BUMN,” ungkap Mirah, Senin.
Lebih lanjut, Mirah menyoroti perubahan signifikan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, di mana istilah outsourcing diganti menjadi Alih Daya. UU ini memperluas cakupan jenis pekerjaan yang dapat di-alihdayakan tanpa adanya batasan yang jelas. Selain itu, pembatasan kontrak kerja yang sebelumnya diatur dalam UU No. 13/2003 juga dihilangkan.
“Alih Daya/Outsourcing dalam UU Omnibuslaw sudah sangat parah karena tidak ada batasan pekerjaan dan batasan kontrak, dalam kata lain kontrak bisa seumur hidup,” tegas Mirah.
ASPIRASI menemukan berbagai praktik penyimpangan dalam pelaksanaan outsourcing, di antaranya:
- Pekerja diminta membayar sejumlah uang untuk bisa diterima bekerja di perusahaan outsourcing.
- Pekerja di perusahaan pemberi kerja merangkap jabatan sebagai direktur di perusahaan outsourcing.
- Direktur atau General Manager di perusahaan pemberi kerja memiliki perusahaan outsourcing dan mengalihkan pekerjaan ke perusahaan miliknya.
- Keterlibatan organisasi masyarakat (ormas), oknum TNI/Polri, perangkat desa, hingga pimpinan serikat pekerja dalam bisnis outsourcing.
- Izin pendirian perusahaan outsourcing yang tidak sesuai aturan, seperti koperasi simpan pinjam yang berubah menjadi penyalur tenaga kerja.
Akibat penyimpangan tersebut, ASPIRASI mencatat berbagai pelanggaran hak-hak pekerja outsourcing, termasuk upah di bawah UMP, tidak adanya jaminan sosial, tidak ada kebebasan berserikat, mudah di-PHK tanpa pesangon, tidak ada jenjang karir dan pelatihan, minimnya perlindungan K3, tidak ada perlindungan hukum terhadap diskriminasi dan pelecehan, jam kerja yang tidak sesuai aturan tanpa uang lembur, tidak ada THR dan insentif, gaji tidak tepat waktu, serta kontrak kerja yang tidak transparan.
“Atas praktik penyimpangan ketenagakerjaan pada sistem Alih Daya/Outsourcing seperti kondisi di atas sudah pantas kalau Oursourcing layak disebut PERBUDAKAN MODERN dan jika kondisinya seperti itu maka akan menghilangkan masa depan Pekerja/Buruh,” tandas Mirah.
Meski demikian, ASPIRASI juga mengakui adanya perusahaan outsourcing yang menjalankan sistem kerja sesuai dengan UU No. 13/2003, terutama di sektor cleaning service dan security, dengan memperhatikan hak-hak pekerja seperti upah layak, jaminan sosial, kebebasan berserikat, dan pelatihan yang sesuai.
Mirah menutup keterangan persnya dengan harapan agar praktik outsourcing yang merugikan pekerja dapat dihentikan dan hak-hak pekerja dapat dilindungi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. (RIS)