ILustrasi AI | WAW
ILustrasi AI | WAW
JAKARTASATU.COM — Pagi itu, lantai redaksi terasa lengang. Suara keyboard yang biasanya menjadi musik latar setiap pagi berganti dengan bisik-bisik kecemasan. Di sudut ruangan, seorang jurnalis muda menggulung kertas pengumuman dari HR—PHK massal. Ia baru saja menyelesaikan liputan panjang tentang pelanggaran HAM di daerah konflik. Kini, ia kehilangan pekerjaan, tanpa tahu kapan bisa kembali menyuarakan kebenaran.
Cerita itu bukan fiksi. Itu adalah kenyataan yang menimpa banyak jurnalis di Indonesia saat ini.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri media makin tak terbendung. Bukan hanya satu-dua media yang terimbas, tetapi sejumlah perusahaan terus melakukan PHK, diam-diam maupun terang-terangan. Data lengkapnya memang belum tersaji secara terbuka, namun frekuensinya bisa dirasakan—terutama oleh mereka yang bekerja dalam senyap untuk menyuarakan publik.
PHK: Bukan Sekadar Angka, Tapi Soal Ruang Kritis yang Hilang
Kita terbiasa memandang PHK sebagai urusan ketenagakerjaan semata. Tapi dalam dunia media, PHK adalah pukulan terhadap demokrasi. Ketika jurnalis kehilangan pekerjaan, publik kehilangan wakilnya untuk menyuarakan kebenaran dan mengontrol kekuasaan.
“Ini bukan sekadar soal kehilangan pekerjaan,” tegas perwakilan AJI Jakarta dalam pernyataannya. “Ancaman PHK massal ini adalah tentang hilangnya ruang-ruang kritis. Tentang melemahnya kontrol terhadap kekuasaan yang seharusnya dijaga oleh jurnalisme yang independen,” imbuhnya.
Pernyataan itu menggambarkan bahwa krisis ini tidak hanya menyentuh urusan ekonomi rumah tangga para pekerja media, melainkan juga menyentuh urat nadi demokrasi bangsa ini. Ketika jurnalis dibungkam oleh ketidakpastian kerja, maka yang sunyi bukan hanya ruang redaksi—tapi juga suara publik.
Subsidi Rumah? Gimmick yang Tak Menjawab Akar Masalah
Beberapa waktu terakhir, pemerintah melempar wacana subsidi rumah bagi wartawan. Namun tanggapan keras datang dari komunitas jurnalis dan organisasi pendamping.
“Wartawan tidak butuh gimmick subsidi rumah dari pemerintah,” tegas LBH Pers. “Yang kami butuhkan adalah iklim kerja yang aman, jaminan kerja yang layak, dan perlindungan terhadap hak-hak dasar sebagai pekerja media.”
Pasalnya, dalam kenyataan di lapangan, banyak jurnalis yang tidak mampu memenuhi prasyarat untuk mengakses fasilitas seperti KPR, karena upah minim dan status kerja yang tidak menentu. Memberi subsidi rumah kepada jurnalis yang terancam PHK, bagi LBH Pers, ibarat memberi pelampung pada orang yang sudah tercebur dan terikat kaki-tangannya.
Posko Pengaduan: Upaya Menolak Diam
Tak tinggal diam, LBH Pers bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta membuka pos pengaduan kasus ketenagakerjaan untuk jurnalis dan pekerja media yang menjadi korban PHK, pemotongan upah, atau bentuk pelanggaran ketenagakerjaan lainnya.
“Kami membuka ruang bagi para jurnalis yang mengalami PHK, pemotongan upah sepihak, atau pelanggaran ketenagakerjaan lainnya untuk melapor. Ini bukan hanya soal pendampingan hukum, ini adalah bagian dari perjuangan bersama menjaga martabat profesi,” ujar LBH Pers dalam keterangannya.
Pengaduan dapat disampaikan melalui laman lapor.lbhpers.org atau dengan menghubungi langsung ke 082146888873 (LBH Pers) dan 081935007007 (AJI Jakarta).
Suara yang Tak Boleh Padam
Menulis adalah kerja sunyi. Tapi ketika para penulis dibungkam oleh sistem yang abai terhadap hak mereka, maka yang padam bukan hanya lampu di meja kerja redaksi—tapi juga cahaya demokrasi kita.
Krisis PHK jurnalis bukan hanya tragedi personal. Ia adalah tragedi publik. Karena dalam setiap suara jurnalis yang dihentikan, ada kebenaran yang gagal disuarakan. Ada kekuasaan yang lepas dari kontrol.
Dan itu—seharusnya—tak boleh dibiarkan terjadi. |WAW-JAKSAT