Dunia yang Membayar dengan Bola Mata: Ironi, Mata Uang, dan Mata-mata
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Bayangkan ini. Kita berdiri di depan sebuah kios kecil bertuliskan “WORLD”. Di dalamnya, bukan kopi, bukan pulsa, tapi Orb—bola besi mengkilat seperti dari film Black Mirror—siap memindai retina kita. Imbalannya? Rp800 ribu. Cukup untuk makan bakso sebulan, atau beli kuota buat nonton TikTok hingga batas kemiskinan informasi.
Dan sekarang, mendadak pemerintah bilang, “Stop dulu, kita investigasi!” Begitulah nasib Worldcoin, proyek kripto dari Sam Altman—yang tampaknya belum puas setelah menciptakan ChatGPT dan memanusiakan mesin, kini mencoba memverifikasi bahwa kita ini masih manusia.
Orb-italisasi Dunia: Identitas Digital di Era Kacamata Kuda
Worldcoin dan saudaranya World ID punya ambisi yang tak main-main, menciptakan sistem identitas digital global berbasis iris mata. Bayangkan KTP digital, tapi di-endorse oleh retina kita sendiri. Sebagai gantinya, kita dapat token $WLD. Yes, literally, mata uang.
Menurut Worldcoin, ini demi “proof of personhood”—pembuktian bahwa kita bukan bot. Karena di zaman ini, tak cukup jadi manusia. Harus bisa dibuktikan di blockchain.
Kutipan klasik dari Yuval Noah Harari tiba-tiba terasa relevan kembali, “As data becomes the most valuable asset, those who control it, rule the world.” Atau, dalam konteks Worldcoin: “Those who scan, gain the coin.”
Apakah dunia siap dipindai? Di Bekasi, warga mengantri. Mata dijulurkan ke mesin. Imbalannya lumayan, antara 200 ribu sampai 800 ribu rupiah. Tak ada yang bertanya panjang. Toh, seperti kata Bang Ucok di Twitter, “Data pribadi saya? Lha wong saya aja ga merasa pribadi.”
Ironi ini menyayat. Di tengah krisis ekonomi, bansos makin tipis, lapangan kerja makin sempit, maka mata kita pun jadi objek ekonomi.
Apakah ini inovasi? Atau eksploitasi? Di sisi lain, Worldcoin mengklaim teknologi zero-knowledge proofs (ZKP)—verifikasi tanpa membuka identitas. Konon, datanya tak disimpan. Tapi mengutip Slavoj Žižek, “We live in a time where privacy is a myth, and myths are privately funded.”
Pecahnya Gelembung Idealisme
Dengan 12 juta pengguna di 40 negara, Worldcoin menjelma menjadi kultus global dengan altar-nya berupa Orb. Di Asia, Afrika, hingga Amerika Latin, proyek ini menyebar seperti MLM berbasis mata. Dan seperti MLM pada umumnya, diikuti antusiasme membabi buta dan calo berjas rapi.
Di Kenya, proyek ini sudah dibekukan sejak 2023. Di Spanyol, Prancis, Korea Selatan, Inggris, Brasil, semuanya menekan tombol pause. Alasannya seragam, pelanggaran privasi, penyimpanan data biometrik tanpa izin yang jelas, serta ketidaktahuan publik terhadap konsekuensi jangka panjang.
Seperti kata Marshall McLuhan, “The medium is the message.” Dan medium Worldcoin adalah mata Anda sendiri. Apa pesan yang ia bawa? Bahwa kita semua layak diberi harga—dalam dolar.
Di Indonesia, kasus Bekasi menjadi titik puncak absurditas. Warga datang, direkam irisnya, lalu menerima uang. Tidak ada izin bangunan. Tidak ada izin RT/RW. Tidak ada rasa malu. Bahkan, menurut aparat, “petugas kami masih googling apa itu Worldcoin.” Ini bukan hanya satire. Ini tragedi. Dalam bentuk sinetron rating tinggi.
Direktur Komdigi akhirnya turun tangan. TDPSE dibekukan. Dua perusahaan lokal dipanggil, PT Terang Bulan Abadi dan PT Sandina Abadi Nusantara -—nama-nama yang lebih cocok untuk produsen kue lapis atau acara hajatan.
Kebijakan ini dibenarkan oleh banyak pihak. Tapi menimbulkan satu pertanyaan besar, “Kenapa masyarakat begitu antusias?” Jawabannya sederhana, “Mereka lapar. Bukan cuma perutnya. Tapi juga laparnya akan inklusi. Akan kepercayaan. Akan kesempatan.”
