Kajian Politik Merah Putih: Pemilu Jadi Sinetron Kapitalis Borjuis Oligarki

JAKARTASATU.COM Di tengah panasnya suhu politik pasca pemilu, muncul satu suara lantang yang mengguncang nalar publik—sebuah pernyataan keras dari Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, yang menggambarkan pemilu sebagai sinetron Borjuis. Bukan hanya menggugat sistem demokrasi yang berjalan, Sutoyo melontarkan kritik tajam dengan metafora penuh daya dobrak: rakyat hanyalah domba, dan para penguasa adalah binatang buas yang tengah mengantri memangsa mereka.

Mengutip pemikir kiri terkemuka Richard Wolff, ia menempatkan pemilu di Indonesia sebagai panggung sandiwara, di mana para aktor politik bukanlah pejuang rakyat, tetapi sekadar figuran dalam naskah yang ditulis para oligark. “Ini bukan demokrasi, tapi sinetron kapitalisme Borjuis,” kata Sutoyo kepada wartawan, Selasa (6/4/2025).

Dalam narasinya yang tajam, Sutoyo menggambarkan bagaimana kekuatan jahat yang ia sebut sebagai jin, setan, dan iblis berwujud manusia kini mengatur ritme politik nasional. Mereka berbicara tentang kesejahteraan rakyat dalam pidato berapi-api, namun nyatanya hanya menjual martabat diri demi posisi dan angpao. Politik tidak lagi menjadi alat perjuangan, tapi kendaraan untuk mempertontonkan kamuflase.

Dengan gaya satir, Sutoyo menuding para elite politik gemar berdiskusi di hotel dan kafe mewah milik “para dewa durgogini”, sebutan bagi para pemilik modal yang sesungguhnya mengendalikan kekuasaan. Bahkan pernyataan-pernyataan yang dilempar ke publik dianggapnya sebagai sandiwara yang sudah diatur, lengkap dengan narasi, kamera, dan honorarium.

“Mereka tidak butuh duduk sebagai menteri, komisaris, atau direktur. Tapi mereka adalah dewa di balik layar yang mengatur semuanya—Presiden, kabinet, dan seluruh sistem,” tegas Sutoyo.

Pernyataan ini seolah membongkar realitas kekuasaan yang dikendalikan oleh para Borjuis kapitalis—kelompok elite yang hidup dari kemiskinan rakyat. “Rakyat harus tetap miskin agar mereka tetap berkuasa,” tegasnya.

Politik hari ini, lanjut Sutoyo, hanyalah ketoprak modern—penuh kamera dan puja-puji terhadap penguasa yang ditampilkan secara vulgar di media. Sementara itu, Angkatan Kuli Panggul—simbol kelas pekerja akar rumput—terpinggirkan, hanya bekerja bila ada muatan, dan sekadar menghisap satu-dua batang rokok agar tidak larut dalam lamunan perut kosong.

Bandingkan dengan para aktivis yang telah berubah wujud menjadi elit kafe, berdiskusi santai sambil menyeruput Americano di tengah fasilitas mewah, bersandar pada kemurahan hati “Aguan dan Anthoni”—dua representasi oligark kekuasaan.

Sutoyo menutup pernyataannya dengan seruan keras agar bangsa ini segera kembali ke jati dirinya: Pancasila dan UUD 1945 yang asli. “Hanya dengan itu kita bisa mengusir jin, setan, dan iblis yang telah menguasai Nusantara,” tegasnya.

Pernyataan ini senada dengan yang disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir: “Sekuat apa pun jihad konstitusi, hasilnya akan hambar ketika berhadapan dengan oligarki kekuasaan, dan politik yang kering dari kesadaran cita-cita luhur bangsa.” (Yoss).