Praktek Sistem Kerja Outsourcing Yang Melanggar Hak Asasi Manusia, Mirah Sumirat: Perbudakan Modern

JAKARTASATU.COM Istilah sistem kerja outsourcing muncul sejak lahirnya Undang-undang ( UU) No. 13 Tahun 2003 ( UUK 13/2003) tentang Ketenagakerjaan. Sebelum UU tersebut diterbitkan setiap pekerja diberikan kesempatan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan, setelah itu diangkat menjadi Pekerja Tetap, atau pekerja dikontrak langsung oleh pemberi kerja atau perusahaan inti. Kemudian setelah 1 sampai 3 tahun lamanya bekerja diangkat menjadi Pekerja atau buruh tetap.

Sejak lahirnya UUK 13 Tahun 2003, istilah outsourcing . Dalam UUK 13 Tahun 2003, outsourcing adalah mengalihkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dan pekerjaan dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) tergantung sifat dan jenis pekerjaannya.

“Maka UUK 13 Tahun 2003 mengatur hanya pekerjaan penunjang saja yang boleh dialih dayakan, bukan pekerjaan inti (core bisnis). Diaturlah dalam UUK 13 Tahun 2003 tersebut,” kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ( ASPIRASI) Mirah Sumirat dalam keterangan kepada Media pada  Selasa (6/5/2025).

“Dalam UUK 13 Tahun 2003 diatur hanya 5 (lima) jenis pekerjaan saja yang bisa di outsourcingkan , yaitu : Security, Cleaning Service, Cetering, Driver dan Tambang. Aturan yang mengatur secara detail tentang sistem kerja kontrak dan outsourcing  terdapat dalam pasal. 59, 64, 65 dan 66 UUK 13 Tahun 2003,” tambahnya.

“Namun prakteknya masih banyak jenis pekerjaan diluar 5 jenis pekerjaan tersebut diatas dibuat outsourcing, dan ajaibnya pelanggaran outsourcing dilakukan juga oleh perusahaan sekelas BUMN,” terang Mirah.

Kemudian dijelaskan Mirah Sumirat terbit undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja, dalam undang-undang tersebut istilah outsourching diganti menjadi Alih Daya. Dalam undang-undang tersebut sudah tidak lagi membatasi 5 (lima) jenis pekerjaan saja yang boleh dialihdayakan (Outsorching) seperti terdapat dalam UUK 13 Tahun 2003.

Dalam pelaksanaannya, Mirah Sumirat mengungkapkan jenis pekerjaan yang bisa dialih dayakan/outsourcingkan ternyata diperluas, hampir seluruh jenis pekerjaan bisa di outsourcingkan. Bukan hanya itu, dalam UUK 13 Tahun 2003 kontrak kerja dibatasi 2x, dalam UU Omnibuslaw tidak ada lagi pembatasan kontrak.

“Apa artinya, “Alih Daya/Outsoucing dalam UU Omnibuslaw sudah sangat parah karena tidak ada batasan pekerjaan dan batasan kontrak, dalam kata lain kontrak bisa seumur hidup”, tandas Mirah Sumirat.

Mirah Sumirat mengungkapkan, dalam prateknya pelaksanaan UU Omnibuslaw Cipta Kerja untuk Alih Daya/outsourcing ini sangat liar dan ugal-ugalan. Banyak ditemukan praktek Alih Daya/outsourcing yang menyimpang dari peraturan perundangan ketenagakerjaan seperti berikut:

a.  Pekerja/ Buruh diminta untuk membayar sejumlah uang rata-rata kurang lebih 10 juta sampai 25 juta demi bisa diterima menjadi pekerja di perusahaan outsourcing tersebut. Di duga uang tersebut di bayarkan ke Direksi dan Manager di perusahaan pemberi kerja.

b. praktek-praktek lain adalah  pekerja/ buruh yang bekerja di perusahaan pemberi kerja menjabat menjadi salah satu Direktur di Perusahaan Outsourcing.

c. Praktek outsourcing yang menyimpang lainnya adalah Direktur atau General Manager di perusahaan pemberi kerja memiliki perusahaan outsourcing dan pada akhirnya pekerjaan yang ada diberikan kepada perusahaan yang telah dibentuk oleh mereka.

d. Praktek outsourcing yang lainnya adalah melibatkan ormas, oknum TNI, POLRI, RT/RW, Lurah, Karang Taruna. Bahkan ada oknum Pimpinan Serikat Pekerja memiliki Perusahaan Outsourcing.

e. Ijin pendirian outsourcing tidak sesuai aturan yang ada, seperti contoh nya ada Koperasi yang ijin pendiriannya simpan pinjam dan bukan berbentuk PT tapi pada prakteknya malah menjadi bisnis pengerah tenaga kerja.

Lanjut Mirah, lalu bagaimana perlindungan dan hak-haknya? Dengan praktek-praktek yang sekarang penuh dengan penyimpangan maka yang terjadi adalah sebagai berikut:

– Upah dibawah UMP,
– Tidak ada jaminan sosial dalam hal ini Pekerja/Buruh tidak mendapatkan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan ,
– Kebebasan berserikat tidak ada sebagai sarana untuk memperjuangkan Haknya sesuai dengan peraturan perundangan
– Sangat mudah di PHK dan tidak diberikan uang pesangon sehingga tidak ada masa depan.
– Tidak ada jenjang karir di perusahaan
– Tidak mendapatkan Pelatihan di tempat kerja nya ( Upskiling, Reskiling).
– Tidak mendapatkan Perindungan yang memadai perihal Kesehatan , Keselamatan Kerja  ( K3).
– Tidak ada perlindungan hukum apabila mengalami diskriminasi di tempat kerja, kekerasan seksual, pelecehan seksual baik verbal maupun non verbal, mutasi yang tidak berkeadilan, jam kerja yang melebihi peraturan perundangan dan tidak diberikan uang lembur
– Tidak mendapatkan THR dan tidak insentif/bonus
– Gaji tidak dibayarkan tepat waktu
– Kontrak kerja yang tidak transparan dan tidak di berikan kepada Pekerja/Buruh outsourcing

Mirah menilai, atas praktek penyimpangan ketenagakerjaan pada sistem Alih Daya/Outsourching seperti kondisi diatas sudah pantas kalau Oursourcing layak disebut perbudakan modern dan jika kondisinya seperti itu maka akan menghilangkan masa depan pekerja atau buruh.

“Namun disisi lain saya juga menyampaikan tidak dipungkiri ada Perusahaan Alih Daya atau outsourcing yang mempraktikkan sistem kerja Alih Daya atau outsourcing sesuai dengan jenis pekerjaan yang telah ditentukan dalam UU no.13 tahun 2003 yaitu bergerak di jenis pekerjaan Cleaning Service dan Security. Perusahan ini menerapkan peraturan perundangan dengan baik dengan memperhatikan hak-hak pekerja/buruhnya antara lain  memberikan upah yang layak , jaminan sosial yang baik , menjamin kebebasan berserikat, pelatihan yang dibutuhkan dalam pekerjaannya dan semuanya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” tutur Mirah. (Yoss)