Aendra Medita,IST

Drama Maaf dan Panggung Kuasa: Antara Simbolisme dan Strategi Elite

CATATAN dari Cilandak : Aendra MEDITA

Dalam beberapa hari terakhir, publik kembali dihadapkan pada sebuah tontonan politik yang penuh simbol: ada Hercules Rosario Marshal menyampaikan permintaan maaf kepada Letjen TNI (Purn) Sutiyoso atau Bang Yos.

Namun tidak berhenti di situ. Bang Yos, yang menerima permintaan maaf itu, justru menyarankan agar Hercules juga meminta maaf kepada Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.

Apa makna dari peristiwa ini?

Apakah ini murni etika personal seorang tokoh jalanan kepada para purnawirawan jenderal?

Ataukah ini adalah panggung yang sedang dipersiapkan untuk pertarungan kekuasaan yang lebih besar?

Maaf yang Sarat Simbol Dalam ruang politik Indonesia, kata “maaf” tidak pernah netral. Ia bisa menjadi bentuk pengakuan bersalah, tapi lebih sering merupakan alat legitimasi atau bagian dari koreografi kekuasaan juga.

Dalam kasus ini, permintaan maaf Hercules tidak bisa dibaca hanya sebagai bentuk kesadaran moral, tetapi juga sebagai strategi untuk membuka kanal relasi dengan elite lama yang masih punya pengaruh—baik di dalam maupun di luar institusi negara.

Bang Yos, sebagai mantan Pangdam Jaya dan mantan Gubernur DKI Jakarta, mantan kepala BIN juga bukan hanya tokoh senior. Ia adalah simbol dari masa lalu yang masih mencoba memainkan peran penting dalam masa kini.

Menyebut nama Gatot Nurmantyo mantan Panglina TNI juga ia dalam konteks permintaan maaf adalah cara halus untuk memanggungkan kembali Jnedral Gatot ini yang juga dikenal “vokal” dalam berbagai isu nasional.

Ketika Elite Bicara, Rakyat Jadi Penonton Yang menyedihkan

Saat panggung ini tidak relevan dengan kepentingan rakyat kebanyakan. Ketika para purnawirawan jenderal dan tokoh eks preman tampil dalam skenario rekonsiliasi, masyarakat justru bertanya: “Untuk apa semua ini?”

Apakah urusan permintaan maaf ini menyentuh harga bahan pokok? Menjawab krisis pendidikan? Menyelesaikan carut-marut hukum? Jelas tidak.

Drama ini adalah milik elite, dan seperti banyak episode sebelumnya, rakyat hanyalah penonton yang tak pernah dimintai pendapatnya.

Kembalinya Tokoh Lama, Panggung Baru?

Gatot Nurmantyo adalah nama yang tak asing dalam wacana politik nasional. Ia pernah mencuat dalam bursa capres dan dikenal sebagai tokoh militer yang bersuara keras soal ancaman komunisme, kedaulatan pangan, dan bahaya proxy war. Kini, dengan dimunculkannya kembali nama Gatot melalui jalur “permintaan maaf Hercules”, publik patut curiga bahwa ini adalah bentuk dikira soft launching menuju panggung Pilpres 2029—baik sebagai calon maupun kingmaker.

Bang Yos, di sisi lain, sudah lama tidak aktif secara formal, namun memiliki jaringan dan pengaruh. Munculnya ia sebagai “orang tua” yang memediasi maaf, sekaligus mengarahkan kepada siapa maaf berikutnya harus disampaikan, adalah simbol kepemimpinan informal yang masih ingin diperhitungkan.

Politik yang Tidak Bergerak Maju Drama semacam ini memperlihatkan satu kenyataan pahit: politik komunikasi Indonesia memang belum benar-benar bergerak maju. Kita masih berkutat pada politik simbol, politik figur, dan nostalgia kekuasaan masa lalu.

Panggung masih dikuasai oleh mereka yang pernah berjaya, dan seolah tak memberi ruang bagi generasi baru untuk menata ulang narasi kebangsaan. Yang lebih menyedihkan, pertunjukan semacam ini tetap laku dan di media jasi konsumsi. Disorot, disebarluaskan, dan akhirnya menciptakan ilusi pentingnya konflik dan rekonsiliasi personal—seolah-olah itu adalah masalah negara.

Jenderal (Purn), Gatot Nurmantyo/ist
Presedium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Jenderal (Purn), Gatot Nurmantyo

Sebenarnya kita butuh Politik Substansi Bangsa ini tidak butuh drama pengakuan bersalah antartokoh lama. Yang kita butuhkan adalah politik komunikasi yang substansi: keberanian membenahi sistem pendidikan, ketegasan menindak korupsi, strategi menghadapi perubahan iklim, dan keberpihakan pada keadilan sosial.

Jika para elite hanya terus memainkan drama kekuasaan tanpa menyentuh akar persoalan rakyat, maka politik akan terus menjadi teater kosong yang dipenuhi tepuk tangan dari para pendukung, tapi diiringi erangan dari rakyat yang diabaikan. Sudah waktunya kita ubah arah.

Bukan lagi soal siapa minta maaf kepada siapa, tetapi siapa yang benar-benar peduli pada masa depan bangsa ini. Apakah Anda semua setuju? Tabik…

*) analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) Jakarta

Jakarta 17 Mei 2025