Pers dan politik semestinya berdiri berhadapan, menjaga keseimbangan. Namun hari ini, yang terjadi justru simbiosis ganjil: pers menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan pengawasnya.
Ini bukan hanya pelecehan terhadap idealisme jurnalistik, tapi juga pengkhianatan terhadap publik. Coba Lihatlah: banyak media lebih cepat menyiarkan pencitraan daripada menggali substansi. Mereka mengejar suara elite, tapi menyingkirkan suara akar rumput.
Lebih suka debat settingan daripada investigasi serius. Politik dikemas seperti reality show, sementara jurnalisme diubah jadi panggung infotainment. Inilah absurditas yang kita hadapi.
“Pers yang merdeka adalah pers yang tidak bisa dibeli dan tidak bisa diancam.” begitu kata Mochtar Lubis pernah bersuara. Namun kenyataannya, hari ini banyak pers justru dibeli—oleh klik, oleh pemilik, oleh kepentingan politik jangka pendek.
Dan sebagian lainnya diancam oleh hukum karet seperti UU ITE yang akhirnya saat ini kandas karena MK, Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal pencemaran nama baik hanya berlaku untuk perseorangan atau individu. Disana ada Pertama, frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat 4 UU ITE, menurut MK hanya bisa ditujukan kepada orang perseorangan.
Maka jadilah mereka bungkam? Atau lebih buruk lagi: ikut menyebarkan ilusi dan membunuh akal sehat?
Saat ini kita menghadapi momen genting: Ketika kebohongan dipoles jadi wacana, Ketika kritik dianggap makar.Ketika wartawan yang jujur justru dijauhi, dan buzzer diangkat jadi narasumber , bahkan jadi komisaris. Ini absurditas tentunya
Kita harus bertanya: di mana pers yang berani? Di mana suara yang lantang untuk rakyat?
Kita tidak bisa berharap banyak dari media yang sudah jadi korporasi raksasa. Justru harapan ada di media alternatif, jurnalis independen, dan suara-suara yang masih memegang teguh nurani. Jika hari ini kita diam, maka esok berita hanya akan diisi kebohongan yang disepakati. Sudah saatnya pers melepaskan diri dari absurditas.
Menolak jadi alat kekuasaan. Dan kembali menjadi kekuatan moral yang menyuarakan kebenaran meski pahit. Makanya ini hanya tulisan pengantar saya yang kan jadi kelak buku kecil berjudul “Pers, Politik, dan Absurditas Zaman”.
JAKARTASATU.COM- Eks Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan mengaku kehilangan Eddie Mardjoeki Nalapraya yang meninggal kemarin, Selasa (13/5/2025) di usia 93 tahun.
“Innalillahi wa...
JAKARTASATU.COM- Pemerhati pemilu, Titi Anggraini “menawarkan” opsi perubahan sistem pemilu legislatif di akun X-nya, Selasa (13/5/2025). Berikut opsi yang “ditawarkan” Titi:
“Tetap mau pilih caleg...
Pengadaan Minyak Di Pertamina Masih Mengundang Daftar Hitam Pemasok KejagungJAKARTASATU.COM - MEDAN - Meskipun pihak Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung telah menetapkan...
Kejari dan Kejati akan Dijaga TNI, Pengamat Intelijen dan Geopolitik: Pesan tak Tertulis Prabowo Agar Jaksa tak Takut Tangkap Koruptor Besar
JAKARTASATU.COM-- Kejaksaan Tinggi (Kejati)...
JAKARTASATU.COM- Eddie Mardjoeki Nalapraya layak disebut Bapak Pencak Silat Dunia disampaikan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon lewat akun X-nya, kemarin, Selasa (13/5/2025).
“Kiprahnya membawa Pencak...