Politik Angin-Api Bolak Balik

Oleh: Taufan S. Chandranegara

praktisi seni-penulis.

Ambang batas zaman kebaruan akan terasa di ranah original. Bukan takdir palsu buatan manusia dengan perangkap konflik memicu propaganda lantas peperangan deh. Hobi amat perang-perangan. Tak ada manusia tak bisa mati cuy. Biar kate punya jimat bejibun, musrik tau, neraka loh, hiks.

Puncak eksistensi harkat kehidupan seakan-akan nol saat perang meletus bagaikan kisah pewayangan. Para drakula perang tak punya belas kasih. Tetap cari untung di tengah penderitaan korban perang. Bergaya juragan lantas bersuara deh. “Oh! Itulah hukum perang.” Kasihan deh.

“Hahaha emangnye ente udah jadi koboi cengeng ya.” Berani melawan lupa ya. Ada Sang Maha Kuasa Pemilik Semesta, esensial penentu hidup-matinya alam raya. Jadi manusia bisa apa, sih. Bisa bikin tekno komputer tercanggih. Cakep. Pertanyaan sederhana aja deh: “Kalau mati, bisa hidup lagi kah?” Apapun jawabannya silakan saja. Bebas merdeka.

Cinta, apakah masih ada di tengah peperangan, entahlah. Namun musim membuat pintu atas nama mungkin lebih terbuka pada ego individu ataupun kelompok, termasuk pelengkap tempat cuci tangan plus cuci muka. Singa menerkam kelinci. Heroisme menjadi euforia payung fantasi. Isme monorel satu arah hanya mampu memamah biak menambah api neraka untuk diri sendiri.

Titik api menjadi bara, letupan, ledakan besar, kembali kekacauan kadang disebut the reform, hiks, meski untung-rugi ada di semua pihak. Siklus menjadi putaran waktu. Para filsuf menulis titik balik logika bermain imajinasi di garis merah teori, analisis membeku di mazhab-mazhab. Wow!

Lupa ya, ada sangkala waktu mengawasi, setiap detik kapanpun mampu melibas apapun bersifat gelap merugikan kebaikan. Jangan sombong kuy menjadi manusia. Segala sesuatu, apapun, bersifat hidup-telah dibatasi; hukumnya pasti mokat alias mati. Ehem. Apakah masih berani membantah, hiks.

Wow! Lagi deh. Jangan GR dulu. Ini obrolan negeri atas angin. Kalau sewaktu-waktu provokasi pandir mendarat di antara situasi hidup. Makhluk sosial kehilangan keseimbangan daya rasional. Politik perang, ambigu di antara salah-benar pengkhianatan, pada pesona gigantiknya mampu terbolak balik.

Ketika kata politik berkomunikasi. Barangkali awal mula dinamika demokrasi bersuara bolak balik di tengah publik beragam selera kebutuhan, keinginan memberi dukungan terbaik. Tapi mengapa ya, kemudian muncul perseteruan, persaingan, pergolakan, pengkhianatan, intimidasi, hipokrisi. Aneh, pada satu bentuk istilah kata itu: Politik.

Meski konon dibutuhkan, disayang, dicintai, di nina bobokan, meski terkadang menjengkelkan. Ketika huru-hara mengangkasa akibat pola politik absurd. Meski hal ihwal suatu peristiwa politik tergantung dari sisi mana melihatnya, akan menjadi relatif pada trans kata politik. Mampu menentukan titik didih perjalanan individual, kelompok, lagi-lagi menuju massa. Kalau kehilangan kontrol akan menjadi massal. Perang tak manfaat rakyat merugi.

Namun bisa juga menjadi keseimbangan relatif kalau perang atas kehendak perlawanan pada mental kolonialisme adaptif di kemodernan demokrasi terkini. Telah diketahui secara nyata banget datangnya kutukan langit. Api datang ke Bumi. “Eh! Halah! Manungsa.” Jreng! Tuh! Semar mesem di balik gunungan langit. Manusia sombong diketawain Semar loh.

Perang di benua lain, kebrutalan di benua sana, makar di sebuah negeri atas angin, invasi militer di negeri jauh bagai dongeng abstraksi dini hari. Invasi militer tampaknya penyakit turunan. Tak semua hal terkait politik, diselesaikan melalui jalur perang. Diplomasi kan bisa, lebih murah.; Kalau masih percaya bahwa ada Sang Maha Pencipta, penentu kehidupan semesta.

Udah pada tahu juga kan; senjata perang manusia bakalan menjadi permen karet dihadapan Sang Pencipta Alam Raya. Udeh deh! Enggak usah kebanyakan gaya jadi manusia. Sekali lagi hidup itu sudah dibatasi. Masih berani membantah. Lantas seolah-olah senjata menjadi penentu kematian dalam kisah-kisah sejarah peperangan.

Kaum nomaden hingga monarki ke modern. Bharatayuda antar-isme, menjadi permainan percaturan politik idiom bagai aksara terbaca ataupun jungkir balik, serupa karakternya dari zaman ke zaman, seakan-akan dunia dibuat kiamat sesaat oleh perang-perangan icu deh; kasian deh jadi manusia. Ambisius namun sangat lemah.

Perilaku kultural berkembang dalam teknologi-sains, di era zaman terus mencipta manfaat nuklir sekaligus ancaman untuk menghancurkan diri sendiri. Wow! Teknologi makhluk manusia serba terbatas tak jauh dari langkah kakinya. Itupun kalau kultur edukasi tetap ada di ranah publik. Sebaiknya mau mendengarkan suara angin. Sebelum airbah datang meluluhlantakan api. Lantas bagi manusia tak percaya pada Tuhannya; sila nyemplung ke pelibahan buatan dirimu sendiri.

Perang bisa masuk pasar jual beli. Barangkali memang begitu penyakit turunan bagi negara gemar perang. Semoga tak terbelakang secara iman kemanusiaan meski maju di bidang tekno. Apakah tekno perang mengenal iman. Enggak tahu deh. Mungkin, kebenaran satu sisi gelap di sisi sebaliknya di rentang zaman berlari di batas hidup manusia. Jreng!

***

Jakartasatu, Indonesia, Mei 06, 2025.