PERPECAHAN ANTARA PURNAWIRAWAN  ADALAH SINYAL BURUK BAGI BANGSA & NEGARA

Oleh Memet Hakim,

Pengamat Sosial 
Dewan Penasihat Aliansi Profesional Bangkit & Aliansi Pejuang dan Purnawirawan TNI

Tanda perpecahan di dalam tubuh purnawirawan kian menguat, pertarungan antara kubu “purnawirawan prajurit” dan “purnawirawan pengabdi Jokowi & oligarki” semakin jelas. Prabowo pasti merasakan adanya indikasi ini, tetapi tidak diperlihatkan. Para purnawirawan yang digunakan oleh Prabowo umumnya adalah purnawirawan loyalis Jokowi, yang diduga akan membantu Jokowi jika terjadi kudeta. Bagaimanapun Gibran tentu ingin dan akan dijadikan presiden oleh Jokowi dengan cara apapun baik halal maupun haram.

Para purnawirawan bisa dikatakan seluruhnya mendukung Prabowo, tetapi terpecah dukungannya tatkala menyebut wapres Gibran. Gibran adalah kepanjangan tangan Jokowi. “Purnawirawan prajurit” yang menolak Gibran beralasan melihat adanya ancaman bahaya besar akan melanda Indonesia jika Gibran tetiba harus menggantikan Prabowo jika berhalangan tetap. Gibran ditenggarai mengidap penyakit schizophrenia (gangguan mental/jiwa), pengguna narkoba, kecenderungan sex tidak normal,  pembenci Prabowo dan ijazah SMAnya diragukan mirip seperti ayahnya yakni Jokowi, sehingga kondisi ini sangat berbahaya bagi Prabowo, bagi bangsa dan bagi negara. Ibarat sahabat sejati yang tidak berharap apa-apa, para “purnawirawan prajurit” ini menyampaikan apa adanya walaupun terasa pahit, demi keselamatan Prabowo, negara dan bangsa. Kelompok ini terlihat masih memegang teguh Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Delapan Wajib TNI.

Para purnawirawan loyalis Jokowi & oligarki mendukung Gibran sebagai wapres dengan alasan konstitusi dan hasil pilpres. Mereka tutup mata walaupun tahu kapabilitas, penyakit dan kelemahan Gibran. Bagi purnawirawan loyalis Jokowi ini, prioritasnya bukan keselamatan presiden, bangsa dan negara akan tetapi “bagaimana agar kehidupan mereka beserta keluarga tetap mapan dan nyaman”.  Kelompok ini tidak berani menyampaikan apa adanya, apa ancaman dan bahayanya  jika Gibran anak haram konstitusi ini tetap menjadi wapres. Kelompok ini tidak berpikir tentang kerusakan negara ini oleh Jokowi selama ini, yang penting hidup tetap aman & nyaman. Kesetiaan terhadap negara telah berubah kesetiaan pada penguasa bahkan pada mantan penguasa.

Ciri yang mudah terlihat adalah kelompok “purnawirawan prajurit” tidak memiliki hubungan dengan oligarki cina rakus, berbeda dengan kelompok purnawirawan yang berlawanan sikap, mereka ini tetap berhubungan erat dengan para oligarki cina rakus. Bahkan beberapa petingginya menjadi direktur dan komisaris di Perusahaan oligarki tersebut. Tidak heran jika secara moral kesetiaan kelompok ini terhadap negeri diragukan. Contoh kongkrit adalah dukungan dan back up terhadap proyek PIK 2, Rempang, Meikarta dan berbagai proyek tidak jelas lainnya.

Ciri lainnya di dalam pola hidup, para “purnawirawan prajurit” ini hidup lebih sederhana dan penuh kebanggaan akan sikap kritisnya yang tidak dapat dibeli dengan jabatan maupun uang. Kelompok  dijauhi oleh pemerintah karena dianggap vocal dan pembangkang, padahal sebenarnya kelompok inilah yang akan menjaga presiden Prabowo agar tetap selamat dan berhasil. kelompok sebelahnya hidup berkecukupan serta masih digunakan oleh pemerintah karena dianggap sebagai anak manis dan umumnya memiliki kesetiaan ganda, kepada Prabowo dan kepada Jokowi.

Kasus mutasi Letjen TNI Kunto, merupakan gejala gunung es yang sebenarnya. TNI selama Jokowi memerintah telah dibuat tidak berdaya, dengan mengangkat personil-personil yang hanya loyal pada pribadi Jokowi bukan loyal pada negara. Itulah sebabnya TNI berada seolah di persimpangan jalan, walau demikian TNI masih lebih baik posisinya dibandingkan dengan Kepolisian yang tingkat kepercayaan masyarakatnya sangat rendah. Kepolisian dinilai oleh kalangan hukum, sampai sekarang dianggap masih loyal pada Jokowi dan masih dapat digunakan sebagai “tukang pukulnya Jokowi”. Lihat kasus ijazah palsu, modusnya sama persis dengan modus saat Jokowi masih berkuasa. Bukan niat ingin membantu menegakkan kebenaran & keadilan, tetapi justru dengan menggunakan pasal-pasal yang dapat langsung menahan terlapor. Polisi main 2 kaki di dalam penegakan hukum, paling tidak itulah yang dapat dibaca oleh public. Memalukan, mengerikan sekaligus menyedihkan, tetapi inilah yang terjadi.

Coba perhatikan Luhut Binsar Panjaitan yang sanggup mengatakan seniornya kampungan dan menyuruh pergi dari Indonesia, karena sudah merasa besar, kaya dan kuat. Bagaimana dia mengumpulkan kekayaannya juga masih dapat dipertanyakan dan diusut. Luhut juga yang bertanggung jawab atas banjirnya tenaga kerja cina ke Indonesia, menjadi backing pengusaha cina rakus dan ikut aktif membuat UU Omnibus Law yang merugikan negara dan rakyat. Kelompok purnawirawan seperti ini masih banyak, dan publik secara sinis sering disebut ternak Mulyono atau ternak Jokowi.

Fenomena aneh terjadi sekarang ini, para pemimpin, pejabat dan petinggi bahkan termasuk pengurus partai (formal leaders), baik di daerah maupun pusat yang digaji dan diberi fasilitas oleh negara dari pajak rakyat, paling mudah dikendalikan oleh oligarki cina rakus, mereka ini “paling rawan melakukan korupsi dan menjadi penghianat negara hanya karena serakah dan ketakutan jabatan dicopot”. Kelompok ini bahkan rela dijajah oleh bangsa lain, asalkan selamat dan menjadi kaya. Sebaliknya para “pemimpin tidak formal” (informal leaders) baik yang di daerah maupun pusat yang tidak digaji dan tidak difasilitasi oleh negara justru lebih kuat kecintaannya pada rakyat dan negara. Mereka sangat keras menolak adanya penjajahan baru lewat invasi cina dengan kedok investasi, yang ujung-ujungnya merugikan rakyat Indonesia. Artinya gaji dan fasilitas dari negara itu ternyata membuatnya menjadi rapuh moral & etika akibat keserakahannya.

Para purnawirawan dan yang masih aktif tentu memliki hubungan historis dan tidak sedikit yang anak atau mantu para purnawirawan ini menjadi anggota TNI aktif. Contoh yang paling menonjol adalah Luhut Binsar Panjaitan loyalis Jokowi mantan Dubes & Menteri  sebagai mertua Maruli Simanjuntak yang menjadi KASAD, Try Sutrisno mantan wapres, panglima TNI adalah ayahnya Kunto yang menjadi Pangwilkogab 1. Tidak salah tentunya jika analisa umum menyatakan bahwa kasus mutasi Kunto menjadi Stafsus dikaitkan dengan hal ini.  Sadar atau tidak sadar petinggi TNI harus menyadari  bahwa pengaruh peperangan internal akan membuat TNI menjadi lemah.

Perpecahan antara purnawirawan, merupakan refleksi adanya perpecahan di dalam tubuh TNI juga adalah sinyal buruk bagi bangsa & negara. Oleh karena itu sebaiknya TNI maupun Polri fokus saja membantu presiden Prabowo, hentikan hubungan atasan bawahan dan loyalitas dengan Jokowi. Bahwa panglima tertinggi saat ini adalah Prabowo bukan Jokowi, itu yang perlu diperhatikan, akan tetapi jika loyalitas institusi ataupun personal terhadap Jokowi terus berjalan, Prabowo  memiliki kewajiban untuk membersihkannya.

Bandung, 09 Mei 2025