IST
IST

Barak Militer, Suami Nakal, dan Anak Bangsa yang Dikirim ke Jalan yang (Katanya) Benar

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Ketika Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), melempar gagasan untuk mengirim anak-anak nakal ke barak militer, dunia maya tidak hanya merespons—ia bergemuruh. Tidak semua tepuk tangan adalah bentuk pujian. Kadang itu tanda pasrah, kadang sinyal: “Akhirnya ada hiburan baru!”
Respons dari netizen Indonesia? Campuran antara satir, serius, dan spontanitas kolektif yang… memesona. Para ibu rumah tangga di berbagai wilayah negeri ini bahkan mendaftarkan suami mereka untuk ikut program. “Pak, suami saya nakal, suka mancing sampai lupa pulang. Bisa dikirim juga, nggak?”
Apakah ini sindiran, candaan, atau… dukungan yang terselubung sarkasme? Di negeri ini, batas antara kritik dan kelakar memang serapuh sinyal Wi-Fi di desa terpencil.
Dari Anak Nakal ke Barak: Solusi atau Simbol Keputusasaan?
Kebijakan ini, suka atau tidak, menunjukkan sebuah gejala: desentralisasi urusan kenakalan. Jika dulu masalah anak nakal diselesaikan guru dan orang tua, kini dilempar ke ranah militer. Kata Prof. Rhenald Kasali, “Kita hidup di zaman disrupsi, termasuk dalam cara mendidik.” Ya, termasuk disrupsi fungsi lembaga.
Namun bukankah ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan—baik formal maupun informal—gagal membentuk karakter dan disiplin? Apakah kita harus menyerahkan tugas moral ke pihak yang dilatih untuk perang, bukan untuk membentuk pribadi?
Kata Michel Foucault, filsuf asal Prancis, “Where there is power, there is resistance.” Tapi di Indonesia, kadang resistensi terhadap anak nakal dilakukan dengan memberi mereka sepatu PDL dan aba-aba baris-berbaris.
Ketika Viral Lebih Ampuh dari Visi
KDM sendiri menyatakan bahwa viralitas bisa memangkas biaya kampanye kebijakan. Kalimat ini bisa jadi masuk buku teks komunikasi politik modern. Seperti dikatakan Joseph Nye, ilmuwan politik dari Harvard, “In the age of information, it is not just whose army wins, but whose story wins.” Dan dalam hal ini, KDM memenangkan narasi—meskipun isinya absurd bagi sebagian orang.
Konten viral hari ini bukan soal benar atau salah, tapi soal: cukup absurd untuk jadi meme? Maka program barak untuk anak nakal berubah jadi tontonan nasional. Bahkan mungkin nanti ada spin-off: “Nakal Academy: Siapa yang Bertahan, Siapa yang Dikirim Pulang?”
Yang tak kalah menarik, TNI justru dapat simpati publik melalui ide ini. Lucunya, bukan karena peran mereka dalam pertahanan negara, tapi karena dianggap bisa mendisiplinkan anak-anak dan… suami-suami ngeluyur. Dalam situasi ini, institusi militer naik kelas bukan karena konflik, tapi karena konflik rumah tangga.
Seperti diingatkan Jenderal (Purn) Moeldoko, “Kedisiplinan adalah modal dasar membentuk karakter.” Betul. Tapi apakah karakter bisa dibentuk dengan push-up, teriak komando, dan potong rambut? Atau justru perlu pendidikan yang penuh cinta, tegas namun bukan trauma?
Ketika Emak-Emak Jadi Agen Viralitas Negara
Tidak ada mesin propaganda yang lebih efisien dari emak-emak ber-WhatsApp group. Ketika mereka mulai mengirimkan voice note minta suaminya dikirim ke barak, itu artinya sebuah kebijakan sudah tidak bisa dihentikan. Ia telah menjadi budaya populer.
Seperti dikatakan George Gerbner, pakar komunikasi massa, “Media tidak menunjukkan kita dunia seperti adanya, tapi seperti seharusnya kita takut akan dunia itu.” Maka ketika media menyajikan barak militer sebagai solusi moral nasional, masyarakat pun mulai percaya: “Mungkin memang cuma barak yang bisa bikin anak saya nggak jadi konten prank!”
Apakah ide ini bisa diadopsi nasional? Mungkin. Dalam negeri yang kebijakannya kadang lebih sering dibahas lewat TikTok ketimbang rapat kabinet, segala hal mungkin. Apalagi jika menimbulkan tawa sekaligus harapan samar bahwa “anak saya nanti berubah.”
Namun seperti diingatkan oleh Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Sayangnya, kita mungkin sudah terlalu letih menggunakan senjata itu. Maka kita berpindah ke barak, ke tempat di mana senjata literal digunakan untuk mendisiplinkan.
Lucunya, masyarakat kini beramai-ramai mendaftarkan anak dan suami ke barak militer. Lupa bahwa akar persoalan anak nakal bukan cuma kenakalan itu sendiri, tapi sistem yang tak menyediakan ruang tumbuh yang sehat. Kita terhibur oleh viralitasnya, tapi lupa menguliti substansinya.
Kalau begini terus, jangan-jangan ke depan akan muncul kebijakan, “Siapa pun yang tidak produktif di TikTok akan dikirim ke barak!” Dan masyarakat pun akan berkata, “Yaaa… asal jangan barak sinyal, deh.” Jadi, “Kalau pendidikan gagal membentuk karakter, mungkin kita memang butuh barak. Tapi sebelum itu, mari kita bentuk dulu akalnya.” Tabik.