Hari Kemenangan Russia

Oleh Jimmy H Siahaan

Sejak Vladimir Putin menginvasi Ukraina, empat tahun lalu,  Parade militer untuk menghormati kekalahan Nazi Jerman, saat PD II, telah menjadi bayang-bayang 80 tahun sebelumnya.

Pertunjukan tank canggih dan rudal balistik antar benua di Lapangan Merah Moskow telah berakhir, sementara para pemimpin dunia, bahkan sekutu Moskow, telah waspada untuk berdiri di samping Putin untuk menyaksikan prosesi kehebatan militer tersebut.

Invasi tersebut telah menghancurkan Ukraina dan membuat militer Rusia kehilangan ribuan tank dan ratusan ribu tentara.

Sebelum perang habis-habisan di Ukraina, Hari Kemenangan, yang dirayakan sehari setelah Hari Kemenangan Eropa, menjadi parade bukan hanya untuk menghormati pengorbanan generasi sebelumnya, tetapi juga untuk memoles citra Putin tentang Rusia pasca-Soviet yang dikembalikan ke kejayaannya semula.

Pada Perang Dunia II, Rusia (atau lebih tepatnya, Uni Soviet) bukan sebuah kerajaan, melainkan negara yang dipimpin oleh rezim komunis. Uni Soviet merupakan salah satu kekuatan utama di Blok Sekutu dan berperan penting dalam mengalahkan Nazi Jerman.

Uni Soviet memberikan bantuan militer besar-besaran kepada Blok Sekutu, termasuk senjata, peralatan, dan personel. Bantuan ini sangat penting dalam menjaga kekuatan Sekutu di berbagai medan pertempuran.

Perang di Front Timur
Uni Soviet menghadapi pasukan Nazi Jerman dalam pertempuran yang sangat berat di Front Timur. Pertempuran besar seperti Pertempuran Stalingrad dan Pertempuran Kursk menjadi titik balik dalam perang, menunjukkan kekuatan dan ketahanan tentara.

Uni Soviet berperan kunci dalam menyerang Jerman di wilayah timur. Setelah pertahanan Jerman mulai runtuh, pasukan Soviet bergerak maju dan mencapai Berlin, yang akhirnya menyerah kepada mereka.

Akhir Perang Dunia II di Eropa ditandai dengan penyerahan Jerman kepada Blok Sekutu, yang didominasi oleh Uni Soviet.

Setelah perang berakhir, Uni Soviet memainkan peran penting dalam membentuk peta politik dunia pasca perang. Mereka menjadi salah satu negara kunci dalam pembentukan PBB dan memainkan peran penting dalam Perang Dingin.

Republik terbesar dan terpadatnya adalah Republik Sosialis Soviet Rusia yang meliputi sekitar tiga perempat wilayah negara itu, termasuk seluruh wilayah Rusia modern.

Uni Soviet merupakan negara terbesar di dunia sepanjang keberadaannya (1922–1991).

Perang Terbesar yang Dialami Rusia Sepanjang Sejarah, Terakhir Kalahkan Napoleon Bonaparte

Rusia dalam sejarahnya memang telah melalui beberapa peperangan besar hingga konflik. .Sedikitnya tercatat tiga perang besar yang melibatkan negara itu.

Mungkin perang saudara ketika bubarnya Uni Soviet dan perang dingin menjadi yang paling ikonik di Rusia.

Namun bila dilihat lebih jauh, Rusia rupanya memiliki beberapa perang besar yang bersejarah dengan banyak korban berjatuhan.

Tiga perang terbesar yang dialami Rusia sepanjang sejarah:

1.Perang Besar Utara.

Perang ini menjadi salah satu yang paling penting dalam sejarah Rusia. Perang ini terjadi sejak tahun 1700 hingga 1721.

Selama beberapa tahun Rusia mencoba merebut wilayah Livonia dan Estonia serta mengamankan akses ke Laut Baltik. Untuk mewujudkannya mereka perlu mengalahkan hegemoni Eropa Timur yang dipimpin Kerajaan Swedia.

Kala itu Rusia dibantu Aliansi Utara, sayangnya aliansi itu mampu dikalahkan Swedia dan tinggal menyisakan Rusia.

Akhirnya pertempuran yang diberi nama Pertempuran Poltava ini mampu dimenangkan Rusia pada tahun 1709.

2.Perang Rusia dengan Turki Ottoman

Peperangan melawan Kekaisaran Ottoman ini mungkin yang paling populer ialah dimana berlangsungnya Pertempuran Kagul tahun 1770.

Dalam salah satu pertempuran terbesar di abad ke-18 itu tentara Rusia yang berjumlah hampir 40.000 orang di bawah komando Pyotr Rumyantsev mengalahkan tentara Ottoman (Utsmaniyah) yang berjumlah 150.000 orang.

Kemenangan gemilang tidak hanya terjadi di darat, tetapi juga di laut. Selama Pertempuran laut Chesma pada tahun 1770, sebagian besar armada Ottoman hancur.

Perang ini juga yang memicu keruntuhan dari salah satu kekaisaran terbesar di dunia kala itu.

Kehancuran ini membuat Rusia menguasai beberapa wilayah dari Turki Ottoman, salah satunya adalah wilayah Crimea.

3.Invasi ke Prancis

Kekalahan Rusia atas Prancis yang dipimpin Napoleon pada tahun 1087 membuat Negara Beruang Merah mengalami banyak kerugian karena beberapa persyaratan yang diberikan.

Karena itu pasukan Rusia mencoba memberontak. Perang tak terelakkan, dan terjadi pada tahun 1812 dengan invasi Grande Armee.

Napoleon mencoba mempertahankan kedudukannya di Moskow, dan menunggu pernyataan menyerah dari Rusia.

Namun, setelah satu bulan menunggu, pernyataan menyerah itu tidak kunjung datang dan musim dingin pun tiba.

Hawa dingin menusuk, ditambah dengan semakin menipisnya perbekalan, akhirnya memaksa Napoleon memerintahkan pasukannya yang kelaparan untuk mundur dari Moskow.

Kekalahan Perancis ini lantas membuat Napoleon harus lengser dari kursi kekaisaran. Kejadian ini lantas mengangkat posisi Rusia di mata dunia yang telah mengalahkan ahli strategi yang tak terkalahkan selama lebih dari satu dekade.

Perang Agung Raya

Presiden Rusia Vladimir Putin memimpin langsung parade Victory Day di Lapangan Merah, Moskow, Jumat (9/5/2025).

Victory Day tahun ini merayakan 80 tahun kemenangan sekutu, termasuk Uni Soviet, dalam Perang Dunia II.

Dalam pidatonya, Putin mengatakan hampir 80 persen penduduk dunia terlibat dalam Perang Dunia II.

“Hampir 80 persen penduduk dunia terlibat dalam orbit Perang Dunia II yang berapi-api. Kekalahan total Nazi Jerman, Jepang yang militeristik, serta satelit mereka di berbagai wilayah dunia terjadi berkat upaya bersama negara-negara Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata Putin, seperti dikutip dari Sputnik.

Upaya pasukan Nazi Jerman untuk merebut wilayah Uni Soviet menumbuhkan semangar persatuan yang kuat serta kepahlawanan rakyat Soviet.

“Kita mengenang pelajaran dari Perang Dunia II dan tidak akan pernah menerima pemutarbalikan kejadiannya, upaya untuk membenarkan para algojo, dan memfitnah pemenang sejati,” katanya, dalam pidato yang juga dihadiri beberapa pemimpin dunia, termasuk Presiden China Xi Jinping.

Rusia, lanjut dia, akan selalu melawan kekejaman yang dilakukan para pendukung ide-ide agresif dan destruktif Nazi maupun pihak-pihak lain yang anti-negaranya.

Putin juga memperingatkan pembukaan front kedua di Eropa setelah pertempuran di wilayah Soviet mendekatkan Rusia pada kemenangan.

Tak lupa dia mengapresiasi jasa para prajurit pasukan sekutu dalam Perang Dunia II.

“Kemuliaan bagi bangsa yang menang! Selamat Hari Libur! Selamat Victory Day!” kata Putin, di pengujung pidato.

Putin menyampaikan pidato selama 10 menit, disusul parade militer, termasuk menunjukkan persenjataan.

Sebanyak 29 pemimpin dunia menghadiri parade Victory Day, termasuk Xi Jinping, Presiden Venezuela Nicolas Maduro, dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

Rusia dan China, Tatanan Dunia Baru

Sambutan Presiden Rusia Vladimir Putin terhadap Presiden Cina Xi Jinping berlangsung meriah, dengan karpet merah di aula penyambutan Kremlin yang megah.

Dunia menyaksikan momen simbolis saat kedua pemimpin berjalan saling mendekat dari jarak puluhan meter, diiringi sorotan kamera yang menangkap lambaian tangan, senyuman, dan jabatan tangan – ritual formal dalam diplomasi tingkat tinggi.

Simbolisme ini penting. Rusia yang terisolasi akibat invasinya ke Ukraina, mendapat dorongan moral karena masih memiliki sekutu berpengaruh seperti Cina.

Meski Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Putin, Xi tetap hadir.

Awalnya, Moskow berencana merayakan peringatan dengan parade militer besar-besaran di Lapangan Merah. Namun, para pemimpin negara-negara Barat memilih untuk tidak hadir. Saat ini, hanya pemimpin dari Kuba, Venezuela, Mongolia, Serbia, dan Slovakia yang hadir dari luar kawasan Timur. Xi datang dengan dua pesawat Boeing 747-800, menunjukkan statusnya sebagai pemimpin paling berpengaruh dari Asia.

Berdua melawan hegemoni AS. Meski berbeda dalam banyak hal, Xi dan Putin menunjukkan kesatuan dalam membangun aliansi strategis melawan dominasi AS.

Rusia, dengan PDB yang bahkan tak melebihi provinsi Guangdong di Cina, masih bergantung pada ekspor senjata dan sumber daya alam yang kini makin dibatasi sanksi. Sebaliknya, Cina gencar berinvestasi di teknologi masa depan, seperti AI dan manufaktur cerdas. Tetapi keduanya bersatu dalam melawan hegemoni AS dan menyerukan sistem dunia multipolar.

Xi, dalam pernyataan resmi setibanya di Moskow, menegaskan bahwa Cina dan Rusia akan bersama-sama mempertahankan tatanan internasional dengan PBB sebagai pusat dan hukum internasional sebagai fondasinya. Mereka menolak hegemonisme dan menjanjikan multilateralisme sejati.

Dalam pertemuan dengan Putin sehari kemudian (8/5), Xi lebih lugas: “Keadilan internasional harus dibela, dan tatanan global yang adil dan setara harus dibangun.” Dia menyatakan bahwa Cina dan Rusia siap memikul tanggung jawab tersebut.

Memperkuat aliansi anti-AS

Pandangan Cina menganggap bahwa biang keladi dari gejolak global saat ini adalah Gedung Putih, yang kini kembali dipimpin Donald Trump. Sejak Trump menjabat awal tahun ini, kebijakan sepihak dan keputusan impulsifnya dinilai merusak stabilitas ekonomi global dan memperuncing ketegangan geopolitik.

Beijing merasa saatnya sudah tiba untuk menantang posisi dominan AS atau setidaknya mulai membangun landasannya.

Ketegangan AS-Tiongkok kian mengental. Perang tarif kembali memanas, dan komunikasi politik antar kedua negara nyaris membeku. Tak ada pihak yang bersedia mundur demi menjaga gengsi.

Beijing pun tak luput memperhatikan bahwa Putin dan Trump telah dua kali berbicara langsung tahun ini.

Putin mengumumkan bahwa dia akan melakukan kunjungan balasan ke Beijing akhir Agustus hingga awal September untuk merayakan kemenangan atas agresi Jepang dalam Perang Dunia II, tentu saja juga dengan parade militer.

“Kami mengembangkan hubungan strategis ini demi kepentingan rakyat kedua negara,” kata Putin di Kremlin. “Tapi ini bukan untuk melawan pihak ketiga,” tambahnya.

Fantasi yang saling berpaut jauh.Namun, seperti yang dicatat analis Claus Soong dari think tank MERICS di Berlin, Jerman, “Cina dan Rusia tidur di ranjang yang sama, tetapi punya mimpi yang berbeda.”

Kemitraan yang disebut “tanpa batas” itu tetap memiliki batas  ditentukan oleh kenyataan geopolitik yang terus berubah dan hubungan masing-masing dengan Barat.

Cina mendorong narasi solidaritas dengan Rusia agar Moskow tidak sepenuhnya berpaling ke Washington, terutama di bawah Trump.

Lebih dari itu, Xi ingin memastikan bahwa bila konflik bersenjata dengan Taiwan meletus, Rusia akan berpihak kepada Beijing, bahkan secara militer.

Bagi Cina, Taiwan adalah provinsi pembangkang yang digerakkan oleh kekuatan separatis. Hampir 200 negara, termasuk AS dan Jerman, masih mengakui pulau itu sebagai bagian dari Cina.

Sejak invasi Rusia ke Ukraina, latihan militer gabungan antara Rusia dan Cina terus meningkat, baik dari segi jumlah, cakupan, maupun wilayah.

Menurut Hugo von Essen dari Stockholm Centre for Eastern European Studies, ini berdampak langsung pada kemampuan proyeksi kekuatan, kesiapan tempur bersama, dan peran Rusia dalam skenario konflik Indo-Pasifik.

Di Taiwan sendiri, kekhawatiran meningkat. Presiden baru, William Lai, secara terbuka mendukung kemerdekaan Taiwan, yang oleh Cina dianggap sebagai garis merah.

Jika Taiwan resmi menyatakan kemerdekaan, Cina dapat menggunakan Undang-Undang Anti-Pemisahan sebagai dasar legal untuk intervensi militer.

Namun Taiwan masih berada di bawah payung perlindungan AS, yang melalui Taiwan Relations Act 1979, berkewajiban memberikan bantuan militer jika Taiwan diserang.