Foto: Rocky Gerung dalam acara Kajian Subuh Ilmiah Alam dan Kita dalam Perspektif Agama dan Sains, Sabtu (10/5/2025)/tangkapan layar

JAKARTASATU.COM– Pemerhati lingkungan, Rocky Gerung, kembali menyampaikan pandangan kritisnya terkait krisis ekologi dan kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam acara Kajian Subuh Ilmiah Alam dan Kita dalam Perspektif Agama dan Sains, Sabtu (10/5/2025). Dalam forum tersebut, yang juga dihadiri Ustaz Abdul Somad (UAS), Rocky menekankan bahwa bumi adalah “rahim kehidupan” dan merusaknya setara dengan menindas perempuan.

Mengawali paparannya, Rocky mengulang materi kuliahnya di Lemhanas mengenai keamanan global dan etika lingkungan, yang menurutnya terhubung erat dengan berbagai krisis di berbagai belahan dunia. Ia menyoroti potensi perang nuklir dan dampaknya yang mengerikan bagi bumi.

“Saya beri kuliah di Lemhanas menerangkan tentang global security. Human environment ethics. Subjek-subjek itu ternyata terhubung dengan keadaan kita di Riau, di Jakarta, di Pakistan, di India, di Eropa, karena kita memahami krisis yang sama artinya, tuh,” ujarnya.

Rocky mengajak audiens untuk memahami krisis ini dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan teologi. Ia menekankan pentingnya akal dalam memahami aturan semesta, sebagaimana tercermin dalam kearifan lokal Melayu dan ajaran agama yang mengajak untuk berpikir tentang tanda-tanda alam.

“Belajarlah dari aturan semesta, karena itu diperlukan akal untuk memahami aturan semesta. Hal saya juga berlaku di dalam kebudayaan Melayu. Alam berkembang jadi guru. Satu kesetaraan epistemik. Quran, teologi mengajarkan ‘Kami sudah memberi tanda-tanda maka kalian harus berpikir’. Jadi ilmu pengetahuan diselundupkan untuk memahami alam semesta. Diselundupkan melalui ayat-ayat suci karena bumi ini suci,” jelasnya.

Dari perspektif antropologi, Rocky mengingatkan tentang singkatnya usia manusia dibandingkan dengan usia alam semesta. Ia juga menyinggung konsep kiamat dalam teologi dan ilmu pengetahuan, di mana bumi pernah mengalami “kiamat” kosmologis miliaran tahun lalu.

Lebih lanjut, Rocky menyoroti kondisi antroposen, di mana kerusakan lingkungan akibat ulah manusia telah melampaui daya pulih bumi. Ia memberikan contoh menarik tentang keterkaitan ekosistem yang jauh, seperti Gurun Sahara yang ternyata menjadi “pabrik” pupuk fosfat bagi Hutan Amazon.

“Kalau kita pakai otak, kita mulai research. Ternyata hijaunya hutan amazon, bertahan jutaan tahun karena dipupuk oleh fosfat. Fosfat adalah elemen kimia yang membentuk amazon. Di mana fosfat itu ada? Tidak di hutan amazon. Adanya di gurun sahara… Dalam rotasi bumi, di dalam hitungan 70 jam, panas matahari menguapkan gurun sahara dan mengikuti rotasi bumi, uap fosfat itu tiba di amazon. Gurun sahara adalah pabrik, pupuk untuk hutan amazon. Yang bikin siapa? Bukan oligarki. Allah subhana wa taala yang buat itu,” ungkapnya.

Analogi kuat kemudian disampaikan Rocky mengenai bumi sebagai “rahim kehidupan” atau “ibu bumi” (Gaia dalam bahasa Yunani). Ia menarik paralel antara etika kepedulian yang diasosiasikan dengan perempuan dan perlunya kepedulian terhadap bumi.

“Bumi adalah rahim bagi kehidupan. Dalam bahasa Yunani disebut ‘ibu bumi’, ‘mother earth’. Gayyah. Jadi bumi, setiap kali kita bertemu dengan perempuan, kita ingat etics of care, karena hanya perempuan yang menghasilkan kepedulian… Keayuaan perempuan, setara dengan keayuaan bumi. Bumi itu indah. Bumi itu ayu. Saya memulai dengan cara itu, untuk coba memahami kita perlu etics of care. Belajar pada kepedulian perempuan. Kita semua lahir dari rahim perempuan,” tegas Gerung.

Ia melanjutkan dengan kritik terhadap kebijakan publik yang seringkali mengabaikan hak-hak perempuan dan menyamakannya dengan hak-hak bumi. Merusak bumi, menurutnya, sama dengan “memperkosa perempuan” karena bumi adalah ibu bagi semua.

“Hak bumi itu setara dengan hak perempuan. Merusaka bumi sama dengan memperkosa perempuan karena dia adalah ibu kita: ‘ibu bumi’,” katanya.

Rocky juga menyoroti arogansi manusia yang mengubah kebutuhan dasar (needs) menjadi keinginan tak terbatas (wants), yang menjadi pemicu utama kerusakan lingkungan. Ia mengkritik pandangan yang merendahkan perempuan dan alam, serta menyerukan adanya persekutuan antara teologi dan ekologi untuk memulihkan harapan.

“Bumi menyediakan kecukupan bagi kita yang kita butuhkan. Basic needs. Tapi politik membuat needs menjadi want. Tambah, mau lagi. Itu yang merusak lingkungan… Ada persekutuan antara teologi dan ekologi. Teologi memberikan semacam kelegaan batin untuk menghidupkan kembali harapan,” pungkas Rocky.

Pandangan Rocky Gerung dalam kajian subuh ini memberikan perspektif yang kuat tentang pentingnya menjaga kelestarian alam sebagai bagian integral dari menghormati kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan, serta perlunya kesadaran akan peran dan kedudukan perempuan dalam harmoni dengan alam. (RIS)