JAKARTASATU.COM — Di satu pagi yang lengang di Bandara Changi, tidak ada yang berubah dari hiruk-pikuk keberangkatan internasional. Namun di balik mesin jet yang meraung dan roda troli koper yang berderak di lantai marmer terminal, perubahan besar sedang terjadi — bukan di ruang tunggu, melainkan di dalam tangki bahan bakar.
Singapore Airlines Group (SIA Group) secara resmi telah menyuntikkan harapan baru bagi masa depan penerbangan global. Pada kuartal pertama 2025, mereka mengakuisisi 1.000 ton Sustainable Aviation Fuel (SAF) murni dari Neste — produsen bahan bakar terbarukan asal Finlandia — dan 2.000 ton tambahan dalam bentuk sertifikat pengurangan emisi dari World Energy di Amerika Serikat.
Angka-angka itu bukan sekadar statistik. Mereka adalah simbol dari perubahan struktural yang lebih besar. Total pengurangan karbon dioksida yang dihasilkan dari transaksi ini diperkirakan mencapai lebih dari 9.500 ton. Untuk membayangkannya: ini setara dengan emisi tahunan dari hampir 2.000 mobil berbahan bakar bensin.

Bahan Bakar Masa Depan yang Tidak Lagi Fiktif
Di tengah krisis iklim yang membayangi dunia, SAF menjadi harapan baru. Dibuat dari limbah dan bahan baku terbarukan, SAF mampu memangkas emisi karbon hingga 80% sepanjang siklus hidupnya dibandingkan bahan bakar jet konvensional. Tak hanya itu, SAF dapat langsung digunakan tanpa perlu modifikasi pada mesin atau infrastruktur — sebuah kemudahan yang mempercepat adopsi teknologi hijau di industri penerbangan.
Yang menarik, pembelian dari World Energy menggunakan mekanisme Book & Claim Chain of Custody, yakni sistem di mana manfaat pengurangan emisi dapat diklaim meski bahan bakarnya tidak pernah dikirim secara fisik. Ini memungkinkan fleksibilitas, menjembatani batas geografis tanpa mengorbankan akuntabilitas.
“Perjanjian ini menandai langkah strategis dalam upaya berkelanjutan SIA Group untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan,” ungkap Lee Wen Fen, Chief Sustainability Officer Singapore Airlines. “Kami mengeksplorasi berbagai model pengadaan dan sertifikasi untuk memperdalam pemahaman menuju ekosistem penerbangan yang lebih hijau.”

Ekosistem yang Sedang Dibangun dari Langit ke Bumi
Transaksi ini bukan hanya soal membeli bahan bakar ramah lingkungan. Ini adalah bagian dari strategi jangka panjang yang ambisius: mencapai penggunaan SAF sebesar 5% pada tahun 2030 dan net zero emission di tahun 2050.
Untuk mencapai itu, Singapore Airlines Group tak bergerak sendiri. Mereka bergabung dalam kampanye Green Fuel Forward, inisiatif kolaboratif yang dipelopori oleh World Economic Forum dan GenZero dari Singapura. Tujuannya adalah membangun kesadaran regional, memacu permintaan SAF, dan menjembatani kolaborasi antara maskapai dan sektor korporat di Asia Pasifik.
Seperti arsitek yang membangun rumah di atas fondasi yang kokoh, SIA Group tahu bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang teknologi, tapi juga tentang kemauan kolektif. Mereka mendorong pertumbuhan industri, memperkuat standar pelaporan, dan merancang kebijakan jangka panjang yang memungkinkan SAF menjadi norma, bukan anomali.

Lebih dari Sekadar Maskapai
Langkah dekarbonisasi ini dilakukan tidak hanya oleh Singapore Airlines, tetapi juga oleh Scoot, anak perusahaan mereka yang berbiaya rendah. Dengan armada lebih dari 50 pesawat dan cakupan 70 destinasi global, Scoot telah menjelma dari sekadar LCC menjadi agen perubahan. Warna kuning cerah khasnya kini tampak sebagai simbol optimisme — bahwa penerbangan murah pun bisa tetap ramah lingkungan.
Saat pesawat SIA lepas landas dari landasan Changi, meninggalkan jejak tipis di langit, penumpangnya mungkin tidak sadar bahwa mereka sedang menjadi bagian dari sejarah. Mereka tidak hanya bepergian melintasi waktu dan ruang — mereka ikut menerbangkan harapan akan dunia yang lebih bersih.
Langkah Singapore Airlines Group adalah sebuah pengingat bahwa transformasi besar selalu dimulai dari keputusan-keputusan kecil namun berani. Dan di dunia yang berubah cepat ini, keberanian untuk berubah adalah satu-satunya tiket menuju masa depan. |WAW-JAKSAT