Negara Tak Boleh Gentar oleh Meme: Demokrasi Butuh Ruang Kritik, Bukan Tahanan Baru
PENAHANAN mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) berinisial SSS telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan Bareskrim Polri, Jakarta, atas kasus meme Presiden Prabowo dan Jokowi. Mahasiswi itu dipersalahkan melakukan penghinaan sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukum 6 tahun penjara. Pihak kampus memastikan tetap memberikan pendampingan terhadap mahasiswi tersebut.
Kasus yang oleh Bareskrim Polri docokok langsunga karena mengunggah meme bergambar Presiden Prabowo dan Presiden Jokowi dalam posisi satir bukan sekadar insiden hukum biasa.
Ini adalah preseden buruk yang berbahaya. Ia membuka kotak pandora yang dapat merusak fondasi demokrasi kita: kebebasan berekspresi. Apa yang dilakukan mahasiswi itu—terlepas dari selera atau etika publik yang bisa diperdebatkan—adalah ekspresi dari kebebasan berpikir dan berekspresi, dua hak dasar yang dijamin dalam konstitusi kita.
Meme adalah bagian dari bahasa zaman, sebuah bentuk komunikasi visual yang cepat, luas, dan seringkali satir. Ketika negara mulai takut pada meme, yang dipertaruhkan bukan hanya ketahanan hukum, tapi kewarasan demokrasi.
Tindakan kepolisian yang tergesa-gesa menahan sang mahasiswa dengan ancaman 12 tahun penjara berdasarkan UU ITE mencerminkan pola lama: negara lebih cepat menindak ekspresi warga daripada memperbaiki kebijakan atau memperluas ruang kritik. Ini keliru. Ini menyakitkan. Ini membahayakan masa depan bangsa. Banyak tokoh publik telah menyuarakan keprihatinan.
Dari Ketua Komisi III DPR hingga Istana Negara sendiri menyarankan pendekatan pembinaan. Kampus ITB pun menyatakan kesiapannya untuk membina.
Bahkan Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, merespon penangkapan mahasiswa ITB berinisial SSS, ia meminta Polri harus segera membebaskan mahasiswi ITB pengunggah meme Presiden Prabowo Subianto dan Jokowi.
Demikian disampaikan Usman Hamid terkait penangkapan yang dilakukan polisi terhadap seorang mahasiswi ITB soal penyebaran meme foto Presiden Prabowo dan Presiden ke-7 Jokowi, Sabtu (10/5/2025).
Tapi kenapa harus ada penahanan dulu?
Kenapa kita selalu lebih dulu menghukum sebelum berdialog? Kita bukan sedang bicara soal suka atau tidak suka terhadap konten.
Kita sedang bicara soal bagaimana negara memperlakukan warga mudanya yang berpikir, berekspresi, dan menyampaikan pendapatnya—dengan cara yang mungkin tak biasa, mungkin tajam, mungkin menyentil.
Tapi bukankah itu fungsi kritik? Demokrasi yang dewasa adalah demokrasi yang tahan kritik. Yang paham bahwa suara-suara dari bawah adalah bagian dari denyut nadi rakyat. Yang tahu bahwa satire bukan musuh, tapi kaca yang memantulkan kenyataan sosial.
Negara seharusnya tidak gentar oleh meme. Negara seharusnya gentar kalau rakyatnya mulai takut bicara. Mari kita jaga agar ruang berekspresi tetap terbuka. Agar kampus tetap menjadi tempat berpikir bebas. Agar hukum berpihak pada akal sehat, bukan pada ketakutan. Karena hanya bangsa yang berani dikritik yang pantas disebut bangsa besar.