IST
IST

Siapa Pelapor Mahasiswi ITB, Dialah Pemantik Efek Streisand

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Pada suatu sore yang ganjil tapi tak asing di republik ini, seorang mahasiswi ITB — kampus kebanggaan nasional yang konon mencetak teknokrat masa depan, mendadak dicokok aparat hanya karena mengunggah sebuah meme. Bukan bom, bukan hoaks, apalagi propaganda. Hanya satu gambar hasil GenAI: dua pemimpin —- Presiden dan mantan Presiden, dalam visualisasi parodi berciuman yang katanya dianggap “melukai martabat negara.”
Penangkapannya pun terjadi secepat kilat. Bahkan lebih cepat dari pengesahan Undang-Undang di tengah malam atau pengumuman kebijakan penghapusan subsidi yang dilakukan di waktu-waktu tak terduga, sambil berdoa agar rakyat tidak bangun.
Yang jadi soal bukan hanya “kenapa ditangkap”, tapi lebih misterius lagi: “siapa yang menyuruh?”
Siapa Perintahkan? Tanya Angin, Tanya Langit
Pihak Istana melalui juru bicara Presiden, Hasan Nasbi — yang drama pengunduran dirinya tak kalah seru dari sinetron Ramadan, menyatakan bahwa Presiden Prabowo tak pernah memerintahkan penangkapan. Pernyataan itu terdengar lugas, tapi entah mengapa rasanya seperti mendengar “Aku sayang kamu, tapi kita putus.” Manis tapi tetap menyakitkan.
Di sisi lain, para relawan Jokowi, yang masih setia berdiri dengan formasi buzzer dan komentar berapi-api, terang-terangan menyatakan dukungan pada tindakan penangkapan tersebut. Tapi sampai detik ini, tidak ada satu pun dari mereka yang mengaku menjadi pelapor resmi.
Dus kita pun bertanya-tanya, apakah ini ulah aparat yang terlalu semangat dalam berimprovisasi? Ingin mencetak “prestasi digital” di era politik algoritmik? Atau barangkali negeri ini sudah punya sistem sensor otomatis, di mana begitu nama “Prabowo” atau “Jokowi” muncul dalam konteks humor, alarm langsung menyala seperti bom waktu yang siap menendang logika.
Efek Streisand: Ketika Meme Disensor, Dunia Mencari
Yang ironis, penangkapan ini justru menimbulkan apa yang oleh ahli komunikasi disebut Efek Streisand. Dimana upaya untuk menutupi sesuatu dengan tindakan represif justru membuatnya makin viral. Meme yang boleh jadi sebelumnya hanya diketahui segelintir netizen kini dikoleksi seperti artefak budaya pop. Meme itu kini telah menjadi seperti Mona Lisa versi republik digital: absurd, lucu, dan dikerubungi rasa ingin tahu secara kolektif.
Persis seperti yang pernah dikatakan Marshall McLuhan, filsuf media, “The medium is the message.” Hanya saja untuk di Indonesia 5.0, mungkin yang lebih tepat adalah, “The overreaction is the advertisement.”
IST
IST
Ketimpangan Penegakan, Tajam ke Kiri, Tumpul ke Kanan
Publik pun kemudian menggali kasus-kasus lama dan jejak digital yang tersisa. Pasalnya bagaimanapun ingatan kolektif tidak mudah padam, walaupun VPN dan UU ITE berusaha keras menenggelamkannya.
Sebut saja kasus Ade Armando, aktivis PSI dan pendukung Jokowi garis keras, yang pernah menyebar gambar Anies Baswedan yang dirusak secara digital. Padanya tak ada penangkapan. Pun dengan kasus Ulin Yusron, buzzer yang juga relawan Jokowi hardcore, sempat mengulik dan menebarkan foto Prabowo yang diubah mirip sebagai Hitler. Padanya juga tak ada proses hukum.
Belum lagi pada kasus Fufufafa, yang dianggap public sebagai akun milik Gibran Rakabuming Raka yang secara vulgar dan sarkas selalu menghina sosok Prabowo dalam postingan-postingannya.
Bahkan Hasan Nasbi, sang Kepala PCO, sendiri, sebelum jadi juru bicara istana, sempat mencuit hal-hal sarkas dan jorok tentang Prabowo melalui akun samaran bernama “Tukang Sayur”. Ironisnya, kini dia malah duduk nyaman di kursi kekuasaan orang yang pernah dihinanya.
Alhasil public pun bertanya, Hukum ini untuk siapa? Tajam ke lawan politik, tapi berubah jadi spons lembut saat menyentuh teman sehaluan?
IST
IST
Meme Bukan Mortir. Mahasiswa Bukan Musuh Negara.
Mahasiswa bukan musuh negara. Meme bukan peluru. Kritik bukan makar. Tapi di negeri ini, seperti kata Slavoj Žižek, “Terkadang yang disebut netral hanyalah topeng dari keberpihakan yang sudah mapan.”
Penangkapan mahasiswi pembuat meme ini bukan hanya soal hukum, melainkan tentang bagaimana negara merespons kritik dalam bentuk paling dasar yaitu parodi. Jika meme dianggap ancaman, maka kita sedang memasuki era baru — era ketika tertawa pun harus bersertifikat dan izin sensor.
Winston Churchill pernah berujar, “You have enemies? Good. That means you’ve stood up for something in your life.” Maka jika seorang mahasiswa berdiri untuk kebebasan berekspresi, siapa yang sebenarnya merasa terganggu? Mereka yang berdiri di atas panggung demokrasi, atau mereka yang takut kehilangan spotlight-nya?
Negeri ini butuh pemimpin yang tahan kritik, bukan yang reaktif pada meme. Sebab ketika rakyat hanya bisa mengungkapkan keresahan lewat candaan, dan negara membalasnya dengan borgol, maka kita tahu, demokrasi sedang demam. Mungkin saja baru terserang flu ringan. Atau jangan-jangan justru sudah masuk ke fase kritis, sementara sang dokter konstitusi sedang sibuk bikin konten. Tabik.