kangean-energy.com/pagerungan-field/
kangean-energy.com/pagerungan-field/

Bagaimana Mesin Cuci Citra Bersihkan Dusta Kasus Kekerasan Seksual di Kangean Energy Indonesia yang Terlanjur Viral? 

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller

“Kebohongan bisa berlari keliling dunia sebelum kebenaran sempat mengenakan celana.” — Sir Winston Churchill

Baru-baru ini, publik dikejutkan —-eh, bukan, publik sebenarnya sedang bosan, lalu menemukan hiburan baru—- oleh sebuah video viral yang menuding terjadi kasus kekerasan seksual di lingkungan kerja Kangean Energy Indonesia. Netizen pun tak sempat bertanya apakah ini benar? karena di jagat media sosial, yang penting bukan bukti, tapi buzz. Bahkan sapi pun bisa diviralkan sebagai kambing hitam jika narasi didesain dengan seksama dan back sound mendayu.
Tak butuh waktu lama, perusahaan energi itu mengeluarkan klarifikasi resmi: “Itu semua hoaks. Tuduhan palsu. Fitnah yang membakar nama baik perusahaan.” Bahkan mereka bersumpah demi kilang gas dan undang-undang bahwa mereka akan menempuh jalur hukum. Sebuah langkah yang terdengar tegas, namun juga seperti menyiram api unggun viral dengan botol air mineral: niatnya padam, tapi netizen keburu masak sosis.
Viral Lebih Cepat dari Klarifikasi
Fenomena ini bukan barang baru dalam dunia kehumasan. Seperti kata Prof. James Grunig, pakar komunikasi publik dari Maryland, dalam teorinya tentang excellence theory: “Hubungan publik yang efektif tak hanya reaktif, tapi harus proaktif dan dua arah simetris.” Tapi sayangnya, yang viral lebih dulu bukan hubungan simetris, melainkan caption miring dan video kurang cahaya.
Klarifikasi Kangean Energy Indonesia pun akhirnya seperti pembersih noda yang telat dipakai, padahal noda opini publik sudah terlanjur menyerap ke serat-serat karpet persepsi.
Surat Pernyataan yang Disebut Korban
Surat Pernyataan yang Disebut Korban
Antara Fakta dan Fiksi: Siapa yang Peduli?
Dalam masyarakat digital, kata Umberto Eco, “Media sosial memberi hak bicara kepada legiun idiot.” Maaf, bukan saya yang berkata, itu filsuf Italia yang bilang. Hari ini, siapa pun bisa menjadi jaksa, juri, dan algojo hanya dengan kuota dan sinyal stabil. Bukti? Tidak perlu. Emosi? Harus. Storytelling? Bonus.
Tapi mari kita jujur. Dalam kasus ini, apakah netizen sungguh peduli pada korban (yang tidak ada)? Atau mereka hanya sedang mencari tontonan dengan plot twist, villain, dan skandal?
Tanggapan Resmi Kangean Energy Indonesia
Tanggapan Resmi Kangean Energy Indonesia
Menggelinding Seperti Bola Lumpur
Ketika tuduhan kekerasan seksual dilempar ke muka publik, ia bukan hanya mencoreng nama, tapi menggelinding seperti bola lumpur dari gunung opini. Media sosial bukan pengadilan, tapi dampaknya bisa lebih permanen dari vonis pengadilan.
Dalam situasi seperti ini, menurut Dr. Timothy Coombs, pencetus Situational Crisis Communication Theory, perusahaan harus “menggunakan strategi penyangkalan (deny strategy) jika memang tidak bersalah, tapi tetap harus menunjukkan empati dan transparansi.”
Sayangnya, banyak klarifikasi perusahaan jatuh pada gaya bahasa robotik: kaku, penuh pasif, dan hambar. Kalimat seperti “kami membantah keras dan akan menempuh jalur hukum” sudah terlalu sering dipakai, hingga kini hanya menghasilkan simpati dari staf legal—bukan publik.
Citra yang Dicuci Tak Bisa Kering Seketika
Mengelola reputasi pasca-viral seperti mencoba mencuci seragam putih yang terlanjur dilumuri kecap dan gosip. Bisa bersih? Mungkin. Tapi perlu deterjen yang kuat, waktu, dan, yang paling penting: pengakuan publik yang mau mendengarkan kebenaran. Dan publik hari ini lebih suka cliffhanger ketimbang klarifikasi.
Seperti kata Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century: “Orang-orang tidak lagi mencari kebenaran. Mereka mencari kenyamanan narasi.” Dan jika narasi itu berbau skandal, maka kejujuran harus berkompetisi dengan sensasi.
Jadi, Bagaimana Harusnya? Berikut beberapa langkah yang bisa segera dilakukan:
1.Ubah klarifikasi jadi cerita, bukan pernyataan pers. Jangan sekadar bilang “kami membantah,” tapi ceritakan mengapa, bagaimana, dan apa dampaknya bagi orang-orang yang bekerja jujur di perusahaan.
2.Ajak figur tepercaya berbicara. Bukan hanya direksi atau tim legal, tapi juga influencer, akademisi, atau tokoh masyarakat. Ingat: “Yang bicara bukan cuma apa, tapi siapa.”
3.Bangun narasi tandingan sejak dini. Jangan tunggu viral untuk bergerak. Siapkan protokol krisis digital. Seperti kata Sun Tzu dalam The Art of War: “Perang terbaik adalah perang yang tidak perlu terjadi karena sudah dipersiapkan.”
4.Terbuka, bukan tertutup. Jika memang tidak bersalah, berani tunjukkan transparansi. Audit internal, pihak ketiga, konferensi pers terbuka. Ini era open source, bukan closed statement.
Reputasi Adalah Fragile Item
Reputasi korporat adalah seperti kaca antik: mahal, indah, tapi rentan retak oleh satu tuduhan. Apalagi kalau tuduhan itu viral duluan dan dikemas dengan soundtrack sedih. Maka membersihkan nama baik bukan soal ‘menempuh jalur hukum’ saja, tapi tentang mengembalikan kepercayaan yang sempat goyah.
Atau seperti kata politisi senior asal Inggris, Boris Johnson (yang sering viral karena berbagai alasan, tak selalu baik): “Sometimes the scandal is not in what happened, but in how badly you respond to what didn’t happen.”
Dan ya, itulah PR hari ini: menjelaskan bahwa sesuatu tidak terjadi, kepada mereka yang sudah yakin bahwa itu pasti terjadi—berdasarkan feed TikTok mereka. Selamat datang di zaman di mana klarifikasi butuh strategi lebih panjang daripada fitnah.
“Manusia modern hidup dalam dua dunia: dunia nyata dan dunia persepsi. Reputasi adalah harta karun di dunia kedua.” — Dr. Roland Barthes, disunting oleh realitas kontemporer.

 

Disclaimer: Kolom ini tidak dibayar oleh siapa pun, apalagi oleh energi fosil. Tapi jika ada yang mau membantu membelikan sabun cuci reputasi, saya tidak menolak. Tabik.