Gaji Khayalan Buah Syahwat Jabatan: Sepuluh Juta Perbulan Untuk Setiap Kepala Keluarga di Jakarta
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
“Berpikir adalah kerja paling berat; itulah sebabnya hanya sedikit orang yang melakukannya.” — Henry Ford
Kalau Henry Ford masih hidup dan mendengar ada politisi yang ingin menggaji setiap kepala keluarga di Jakarta Rp10 juta per bulan, padahal APBD-nya tak cukup buat beli mimpi itu, mungkin dia akan tertawa sambil memesan tiket ke Mars. Karena, tampaknya di Bumi—tepatnya di Indonesia—politik bukan lagi soal logika, tapi soal ilusi: makin absurd, makin menarik.
Mari kita coba hitung-hitung laiknya anak SMK jurusan Akuntansi yang belum sempat di-PHK: Jakarta punya sekitar 2 juta kepala keluarga. Kalau tiap KK digaji Rp10 juta, maka:
Rp10 juta x 2 juta KK = Rp20 triliun/bulan. Dalam setahun jadinya Rp240 triliun.
Padahal APBD Jakarta di 2025 hanya Rp91,34 triliun. Artinya, gaji khayalan ini butuh 2,6 kali lipat dari seluruh APBD DKI, alias Jakarta harus ngutang ke Dewa Uang atau mencetak duit pakai printer bekas kelurahan.
Lucunya, tokoh kita bukan pejabat DKI. Dia dari Jawa Barat. Bahkan dulu sempat jadi Bupati. Tapi belum juga menyelesaikan PR daerahnya, sudah ingin “mengecat pagar rumah tetangga”. Jawa Barat masih menyandang status juara pengangguran se-Indonesia—bukan karena masyarakatnya pemalas, tapi karena kesempatan kerjanya sempit, sistem pendidikannya tambal sulam, dan lulusan SMK-nya lebih banyak dibubarin daripada dibina.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Jawa Barat 2025 masih 6,74%, tertinggi se-Indonesia. Bahkan lulusan SMK punya TPT sampai 12,42%. Artinya: dari 100 anak SMK, lebih dari 12 masih nongkrong nunggu panggilan kerja yang tak kunjung datang, atau lebih realistis—nunggu musisi cover undang mereka jadi figuran TikTok.
Tapi apa peduli politisi? Dalam politik, janji itu bukan untuk ditepati. Janji itu untuk ditikTok-kan. Seperti kata Joseph Goebbels, propagandis Nazi, “Kebohongan yang diulang-ulang akan dipercaya sebagai kebenaran.” Maka, mungkin strategi mereka bukan menyampaikan program, tapi mengulang ilusi—dengan nada rendah dan latar musik sedih.
Prof. Yasraf Amir Piliang, filsuf komunikasi, pernah bilang, “Era sekarang adalah era hiper-realitas, di mana yang semu lebih dipercaya daripada yang nyata.” Jadi, mungkin politisi kita sedang menjalankan filosofi postmodern. Kalau realitas pahit, ya ciptakan khayalan manis.
Dulu Joko Widodo juga begitu. Dari Solo, langsung mau mengatur Jakarta. Katanya, macet dan banjir gampang diatasi. Ketika sudah jadi Gubernur? Ya, banjir tetap hadir seperti tamu tahunan, dan macet tetap macet, bahkan sekarang bisa sambil siaran langsung sambil nyetir.
Lalu ketika mau jadi Presiden, janji lama di-copy-paste lagi, “Banjir dan macet Jakarta akan lebih mudah diselesaikan kalau jadi Presiden.” Apakah terselesaikan? Tentu. Terselesaikan dalam bentuk meme dan lagu sindiran.
Tapi inilah Indonesia, negeri yang penuh pengulangan. Di mana rakyat mudah lupa, politisi mudah ingkar, dan pemilu adalah panggung opera yang diperankan oleh badut yang mengira mereka pemikir.
George Orwell menulis dalam Animal Farm, “Semua hewan itu setara, tapi beberapa lebih setara dari yang lain.” Di sini, semua warga itu penting, tapi beberapa hanya penting ketika musim kampanye.
Saya jadi teringat kutipan Abraham Lincoln, “You can fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time.” Tapi, mungkin dia belum kenal rakyat +62 yang bisa dikelabui all the time, asal ada bumbu agama, nostalgia, atau janji cashback.
Terakhir, izinkan saya akhiri dengan doa paradoxal, “Semoga negeri ini segera melahirkan pemimpin yang lebih sibuk mengurus rakyatnya ketimbang ngurus mimpi tetangga. Dan semoga rakyatnya berhenti menukar masa depan anak cucu mereka dengan selembar kaus partai dan janji semu seharga lima tusuk sate.”
Kita butuh pemimpin, bukan penjual mimpi. Kita butuh pemikiran, bukan panggung sandiwara. Jakarta bukan panggung sulap. Rakyat bukan kelinci. Dan APBD bukan tongkat sihir. Tapi kalau semuanya masih dikelola seperti sirkus, jangan salahkan jika akhirnya kita cuma bisa tertawa sambil menangis dalam hati. Tabik.