Implikasi Hukum, Etik, Dan Moral Kasus Dugaan Ijazah Palsu Mantan Presiden

Penulis:
Firman Tendry Masengi, S.H. CLA., CTL
Advokat & Aktivis ProDem

Ijazah merupakan dokumen resmi negara yang tidak hanya berfungsi sebagai bukti akademik, tetapi juga sebagai dasar legitimasi hukum dalam pencalonan dan pengangkatan pejabat publik. Dugaan bahwa mantan Presiden Jokowi menggunakan ijazah palsu yang berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), tanpa kejelasan transparansi dari pihak berwenang, menimbulkan kegelisahan publik dan ancaman serius terhadap etika pemerintahan, supremasi hukum, dan moralitas kenegaraan.

Masalah

1. Bagaimana kedudukan ijazah dalam hukum administrasi negara?

2. Apa implikasi hukum jika ijazah pejabat negara terbukti palsu?

3. Bagaimana penyelesaian etik dan moral atas dugaan tersebut?

Analisis Yuridis dan Etis

A. Ijazah Sebagai Produk Hukum Administratif

Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ijazah merupakan bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) karena:

Dikeluarkan oleh lembaga resmi negara, Memiliki akibat hukum terhadap seseorang

Menjadi syarat administratif pencalonan pejabat publik (misalnya: Pasal 169 huruf d UU No. 7/2017 tentang Pemilu mensyaratkan minimal pendidikan SMA).

B. Pemalsuan Ijazah dan Tindak Pidana

Pasal 263 KUHP menyatakan:

Pemalsuan surat dan penggunaannya yang dapat menimbulkan hak atau akibat hukum adalah tindak pidana dengan ancaman pidana hingga 6 tahun.

Jika terbukti ijazah Jokowi tidak diterbitkan oleh UGM, maka penggunaan dalam proses Pilpres menjadi perbuatan melawan hukum.

C. Etika Penyelenggara Negara

Berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 dan prinsip etika publik:

Penyelenggara negara wajib menjunjung tinggi kejujuran, integritas, dan keterbukaan.

Pemakaian ijazah palsu, jika benar, adalah pelanggaran etika berat yang menggugurkan legitimasi moral dan kepantasan jabatan publik.

Etika bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi juga menyangkut sense of responsibility terhadap kepercayaan publik. Ketidakjujuran dalam aspek akademik adalah bentuk penipuan terhadap rakyat dan sejarah bangsa.

Perspektif Moralitas Kenegaraan

A. Moralitas Kepemimpinan.

Seorang mantan kepala negara tidak hanya dituntut sah secara hukum, tetapi juga bermoral secara publik. Ijazah palsu, jika dibiarkan tanpa investigasi terbuka, mencederai prinsip public accountability dan menormalisasi kebohongan sebagai instrumen politik.

B. Dosa Publik dan Ingatan Sejarah

Dalam perspektif moral publik:

Ketidakbenaran akademik adalah dosa politik kolektif jika didiamkan oleh institusi seperti UGM, KPU, atau Mahkamah Konstitusi.

Bangsa ini akan kehilangan arah moral apabila kebohongan akademik menjadi dasar kekuasaan dan tidak ditindak secara tuntas.

Mekanisme Penyelesaian

1. Jalur Pidana

Laporan pidana ke Bareskrim Mabes Polri.
Audit forensik atas dokumen oleh lembaga independen.

2. Jalur Administratif

Gugatan ke PTUN untuk membatalkan keputusan pencalonan berdasarkan ijazah palsu.

Permintaan pembatalan legalitas ijazah oleh pihak yang dirugikan.

3. Jalur Etik

Pemeriksaan oleh Komite Etik Universitas Gadjah Mada dan Dewan Etik Nasional (jika dibentuk).

Sanksi etik dan pencabutan kehormatan akademik atau jabatan kehormatan negara.

4. Jalur Konstitusional dan Politik

Judicial Review atas ketentuan pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Pengajuan Hak Angket oleh DPR sebagai alat kontrol terhadap KPU dan Kemendikbud.

Kesimpulan

1. Ijazah adalah instrumen legal dan moral dalam kepemimpinan negara.

2. Dugaan pemalsuan ijazah oleh seorang presiden bukan delik biasa, melainkan kejahatan terhadap akal sehat demokrasi.

3. Diperlukan keberanian politik dan independensi hukum untuk mengurai kebenaran di balik dugaan ini.

Presiden dan UGM wajib membuka data secara terbuka untuk menjernihkan opini publik.

Lembaga penegak hukum harus memeriksa dengan imparsial dan independen.

Jika terbukti palsu, selain pidana dan administrasi, juga harus disertai sanksi etik dan moral, demi menjaga kehormatan bangsa dan pelajaran sejarah untuk generasi mendatang.

Disusun di Jakarta, 14 Mei 2025
Oleh:
Firman Tendry Masengi, S.H. CLA., CTL
Advokat & Aktivis ProDem