EDITORIAL JAKARTASATU : ADA APA INDONESIA?
Pemilu Usai, Tapi Kepalsuan Masih Hidup
Pemilu telah selesai. Angka-angka telah diumumkan. Tapi ruang publik tidak sunyi, justru riuh oleh satu pertanyaan yang belum dijawab: siapa pemimpin kita sesungguhnya? Bukan soal angka, bukan soal hasil—tapi soal kejujuran.
Isu ijazah palsu yang mencuat sejak awal kampanye, kini seperti lenyap ditelan protokol dan pidato kemenangannya sendiri.
Tapi publik belum lupa. Dan publik belum puas. Ketika pertanyaan tentang keaslian dokumen penting seorang calon pemimpin tidak dijawab secara jujur dan terbuka, maka luka kepercayaan tidak akan sembuh.
Luka itu menjadi kanker demokrasi. Tokoh komunikasi dunia, Noam Chomsky, sejak lama mengingatkan bahwa: “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion.”
Hari ini kita melihatnya. Wacana dibatasi. Kritik dicap makar. Tuduhan dianggap hoaks. Sementara substansi persoalan tak pernah disentuh. Dalam konteks ini, media seharusnya menjadi pengawal nurani publik, bukan pengaman kekuasaan.
Averchenko—penulis Rusia pra-revolusi yang getir menyaksikan bangsanya dibalut kemunafikan—menulis drama satir berjudul “Pakaian dan Kepalsuan.” Di sana ia mengungkap bahwa masyarakat seringkali hanya menilai manusia dari kemasannya: dari pakaiannya, gelarnya, seragamnya.
Tapi tidak dari jiwanya. Indonesia hari ini sedang hidup dalam lakon itu. Pakaian menjadi simbol kekuasaan. Ijazah menjadi simbol status. Tapi kebenaran dibungkam. Yang dipersoalkan bukan isi, melainkan siapa yang bertanya. Ijazah palsu bukan hanya perkara akademik. Ia adalah metafora besar dari apa yang sedang terjadi.
Kita sedang menjalani demokrasi dengan simbol-simbol kosong. Kita membangun masa depan di atas fondasi yang rapuh.
Maka pertanyaan “Ada Apa Indonesia?” bukan basa-basi, melainkan tanda awas sejarah. Ahli hukum Nonet dan Selznick menyebut, dalam rezim otoriter, hukum bukan alat keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Hukum bersifat represif dan opportunistik.
“Kasus lama bisa dihidupkan, asal tepat mengenai lawan politik.” Kita menyaksikan itu hari ini. Dalam suasana seperti ini, jangan heran jika rakyat bersuara dengan cara berbeda.
Dulu ada #2019GantiPresiden, kini muncul kembali narasi “people power”. Bukan karena rakyat radikal, tetapi karena saluran keadilan terhalang.
Karena suara mereka tidak masuk dalam spektrum opini yang “boleh” disiarkan. Pertanyaannya: siapa yang menyeleksi opini itu? Siapa yang menentukan mana kritik yang sah dan mana yang harus dibungkam?
Di titik ini, kita harus mengulang kembali pertanyaan Averchenko lewat tokoh perempuannya: “Silakan tuan-tuan, kejarlah orang-orang itu. Pintu sudah terbuka luas untuk tuan-tuan.
Dan lampu-lampu di jalan cukup terang. Ingin kulihat kepengecutan dan kepalsuan mengejar kejujuran.” Maka, jika rakyat hari ini bertanya: “Ada Apa Indonesia?”, itu bukan tuduhan. Itu adalah jeritan nurani yang tak ingin negeri ini dijual atas nama investasi, dibungkam atas nama stabilitas, dan disesatkan atas nama demokrasi. Kita bukan menolak pemilu. Kita hanya menuntut agar demokrasi berjalan di atas kejujuran. Tabik…!!
Oleh: Redaksi Jakartasatu.com