Pancasila Telah Mati, Konstitusi Sekadar Kosmetik
Oleh: Firman Tendry Masengi, S.H
Praktisi Hukum/Aktivis ProDem
“Negara hukum tanpa etika adalah kehampaan, dan moralitas tanpa konstitusi adalah kekacauan.”
Negara Hukum yang dipandu oleh Etika, Moral dan Religiusitas adalah Negara Pancasila. Orangnya disebut Pancasilais.
Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga negara, kita menyaksikan bagaimana etika, moral, dan bahkan konstitusi kehilangan makna substansialnya. Ketiganya, yang seharusnya menjadi kompas peradaban bernegara, kini tereduksi menjadi simbol-simbol seremonial—kosmetik belaka—yang dipajang indah dalam pidato-pidato pejabat, namun kosong dalam tindakan nyata.
1. Negara dan Kemunduran Etika
Etika dalam penyelenggaraan negara adalah nilai dasar tentang kejujuran, tanggung jawab, dan kelayakan moral pejabat publik. Dalam praktiknya, etika seharusnya menjadi pagar sebelum hukum turun tangan.
Namun kini, pelanggaran etika dianggap lumrah, bahkan dilegalkan dengan narasi politik.
Singkatnya Pancasila Telah Mati. Philosophy Grondslaag negeri ini dibelati apparatus ideologinya.
Contoh paling telanjang adalah ketika seorang pejabat publik menggunakan dokumen akademik yang diragukan keasliannya, dan institusi pendidikan serta penyelenggara pemilu justru memilih diam, bahkan membela.
2. Hancurnya Moralitas Publik
Moralitas negara bukan hanya soal hukum, tetapi juga keteladanan. Sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa besar runtuh bukan karena perang, tetapi karena korupsi moral dari elite penguasanya.
Jika penyelenggara negara berbohong dianggap tak apa, manipulasi dianggap tak berdosa, dan jabatan dianggap milik pribadi, maka anak-anak bangsa terus tumbuh dengan keyakinan bahwa jalan curang lebih efektif daripada kejujuran. Negara seperti ini sedang menumbuhkan petaka generasi, bukan negarawan.
3. Konstitusi Sebagai Dekorasi Politik
Konstitusi adalah hukum tertinggi, tetapi dalam praktik kekuasaan seringkali dimanipulasi layaknya dokumen pesanan. Uji materi di Mahkamah Konstitusi bukan lagi tentang menjaga cita-cita republik, tetapi menjadi arena kompromi kekuasaan. Pasal-pasal konstitusi dimaknai elastis, sesuai kebutuhan politik hari ini.
Saat lembaga konstitusional tidak lagi netral, dan pelanggaran terhadap konstitusi tidak lagi punya konsekuensi, disinilah negara berubah dari “rule of law” menjadi “rule by power”.
4. Kosmetik Demokrasi
Kita masih punya pemilu, sidang DPR, peradilan, dan simbol demokrasi lainnya. Tetapi semua itu tak lagi menjamin keadilan jika tak ditopang oleh etika, moral, dan kehormatan konstitusi.
Demokrasi tanpa etika adalah teater, Moral tanpa sanksi adalah ilusi, Konstitusi tanpa jiwa adalah kosmetik.
Butuh Revolusi Sistemik
Bangsa ini tidak kekurangan hukum, tetapi kekurangan keteladanan. Tidak kekurangan regulasi, tetapi kekurangan rasa malu.
Saatnya membuat kembali peta dan jalan baru bernegara dengan fondasi utama: etika yang hidup, moral yang bermartabat. “Konstitusi yang dihormati bukan sekadar dikutip.”