Foto: dok. ist

JAKARTASATU.COM– Pemerhati pemilu, Titi Anggraini, menyoroti penggunaan terminologi yang berbeda oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sejumlah putusannya terkait praktik pembelian suara.

Melalui cuitannya pada hari ini, Kamis (15/5/2025), Titi mengungkapkan bahwa MK terkadang menggunakan istilah “politik uang,” “money politics,” atau “vote buying” untuk merujuk pada praktik yang sama.

Menurut Titi, akan lebih baik jika MK konsisten menggunakan istilah “vote buying” sebagai terjemahan langsung dari “pembelian suara” atau “suap kepada pemilih.”

Ia menjelaskan bahwa “vote buying” merupakan istilah umum yang sering digunakan dalam studi pemilu untuk menggambarkan praktik pemberian suap atau insentif kepada pemilih.

Lebih lanjut, Titi mengutip penelitian dari Nichter (2008) yang menjelaskan konsep “turnout buying,” yaitu pemberian insentif untuk mendorong pemilih datang ke tempat pemungutan suara.

Selain itu, ia juga menyinggung “negative vote buying” atau “abstention buying” (Schaffer dan Schedler, 2007), yaitu pemberian insentif kepada pendukung kandidat lawan agar tidak menggunakan hak pilihnya.

Dengan demikian, Titi Anggraini menekankan pentingnya konsistensi penggunaan istilah “vote buying” oleh MK agar pemahaman terhadap praktik kecurangan pemilu ini menjadi lebih seragam dan jelas. (RIS)