Di tengah turbulensi geopolitik global dan tekanan ekonomi pascapandemi, Indonesia -—dan Asia Tenggara pada umumnya, diuji untuk menjawab tantangan zaman. Apakah transformasi hijau akan menjadi penggerak pertumbuhan baru, atau sekadar narasi kosong dalam dokumen strategi pembangunan?
Laporan tahunan Southeast Asia’s Green Economy 2025 edisi keenam, yang diluncurkan oleh Bain & Company, GenZero, Google, Standard Chartered, dan Temasek, memberikan perspektif segar—dan sekaligus peringatan keras. Laporan ini mengusung pendekatan berbasis sistem yang menawarkan bukan hanya solusi, tetapi juga peta jalan menuju dekarbonisasi yang lebih realistis, kolaboratif, dan berdampak luas.
Dari Fragmentasi Menuju Integrasi: Ekonomi Hijau sebagai Sistem
Pendekatan sistemik yang ditawarkan laporan ini berpijak pada kenyataan bahwa isu iklim tak bisa diselesaikan dengan solusi parsial. Ia menuntut keterhubungan lintas sektor: dari pertanian ke energi, dari transportasi ke infrastruktur digital, dari kebijakan fiskal ke pembiayaan swasta.
Konsekuensinya, transformasi hijau bukanlah satu proyek raksasa, melainkan hasil dari sinergi puluhan subsistem kecil-—yang jika disatukan, bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi tambahan sebesar USD 120 miliar, menciptakan 900.000 lapangan kerja baru, dan menutup 50% kesenjangan emisi kawasan Asia Tenggara pada 2030.
Indonesia: Masih di Antara Narasi dan Implementasi
Indonesia berada dalam posisi unik namun rapuh. Di satu sisi, kebijakan strategis seperti kewajiban pelaporan emisi bagi perusahaan publik, insentif untuk energi terbarukan, kendaraan listrik (EV), dan bangunan hijau, menunjukkan arah yang benar. Porsi energi terbarukan kini mencapai 19%, dan EV menyumbang sekitar 5% dari total penjualan mobil roda empat.
Namun, investasi hijau swasta justru menyusut. Pada 2024, nilainya hanya mencapai USD 1,24 miliar, turun 22% dibanding tahun sebelumnya, dan hanya mewakili 15% dari total investasi hijau kawasan SEA-6. Penyebabnya? Salah satunya adalah minimnya investasi pada substitusi bahan bakar seperti LNG, serta stagnasi dalam pengembangan infrastruktur hijau.
Tiga Pilar Transformasi: Bioekonomi, Jaringan Listrik, dan EV
Laporan ini mengidentifikasi tiga solusi utama berbasis sistem yaitu:
1. Bioekonomi Berkelanjutan
Indonesia memiliki kekuatan di sektor ini: kelapa sawit, karet, dan beras menyerap 25–30% tenaga kerja di Asia Tenggara. Namun, kontribusinya terhadap emisi juga besar—sekitar 30% dari total emisi kawasan. Solusi?
  • Reformasi hak kepemilikan lahan petani kecil
  • Biofuel generasi kedua (2G) dari limbah
  • Pasar karbon domestik yang kredibel
  • Investasi teknologi pertanian dan regeneratif
“Bioekonomi harus menjadi katalis ekonomi pedesaan sekaligus penjaga lingkungan hidup,” demikian ringkasan laporan.
2. Jaringan Listrik Generasi Berikutnya
Dekarbonisasi energi tak akan berhasil jika jaringan listrik tetap kuno. Indonesia perlu:
  • Integrasi sumber energi terdistribusi
  • Investasi mikrogrid dan penyimpanan energi berbasis baterai
  • Reformasi regulasi untuk mempercepat perdagangan listrik lintas negara
  • Pengembangan Green Industrial Clusters untuk menarik investasi skala besar
Laporan memperkirakan, kerja sama regional dalam jaringan listrik dapat memangkas biaya dekarbonisasi hingga 11% pada 2050.
3. Ekosistem Kendaraan Listrik
Meski adopsi masih rendah, risiko keterlambatan akan mahal. Dengan 80% produksi otomotif Indonesia masih berbasis BBM, kawasan ini rentan tertinggal. Diperlukan strategi ganda:
  • Mendorong permintaan konsumen dan elektrifikasi armada logistik
  • Membangun rantai pasok EV lokal: baterai, pengisian daya, dan manufaktur kendaraan
  • Green corridors dan insentif produksi dapat mendorong percepatan.
Tiga Fondasi Pendukung: Modal, Karbon, dan Teknologi Hijau
Laporan juga menyoroti tiga enabler utama:
1. Pembiayaan Iklim dan Transisi
Dengan kesenjangan pembiayaan lebih dari USD 50 miliar, pembiayaan campuran (blended finance) harus ditingkatkan. Tantangannya: ukuran transaksi terlalu kecil, birokrasi kompleks, dan miskin pipeline proyek yang bankable.
2. Pasar Karbon
Pasar karbon kawasan mulai tumbuh, namun belum maksimal. Dibutuhkan:
  • Skema kepatuhan yang konsisten
  • Registri kredit karbon nasional
  • Harga karbon yang mendukung kelayakan proyek konservasi
3. Green AI dan Pusat Data
AI dapat mengurangi emisi sebesar 3–5% di sektor tinggi karbon. Namun, pusat data juga berkontribusi terhadap 2% emisi. Investasi teknologi efisien dan energi bersih untuk pusat data menjadi kunci.
Dari Potensi ke Aksi: Jalan Panjang Menuju 2030
Menurut Franziska Zimmermann dari Temasek, “Dengan waktu hanya lima tahun menuju 2030, jendela kesempatan makin menyempit. Solusi sistemik harus dilakukan sekarang, bukan nanti”.
Sementara itu, Spencer Low dari Google menekankan pentingnya AI yang tidak hanya cerdas, tapi juga rendah karbon. “AI harus jadi solusi, bukan bagian dari masalah. Optimalisasi model dan pengadaan energi bersih 24/7 adalah langkah konkret kami,” ungkapnya.
Masa Depan Dimulai dari Jalan yang Kita Pilih Hari Ini
Transformasi ekonomi hijau bukanlah sebuah pilihan idealis. Ia adalah sebuah kebutuhan pragmatis. Saat dunia bergerak menuju ekonomi rendah karbon, Indonesia tak bisa menunggu. Terlalu mahal ongkosnya.
Laporan ini bukan sekadar seruan, tapi kompas. Menuju ekonomi yang lebih bersih, inklusif, dan kompetitif. Karena sejatinya, transisi hijau bukan soal angka karbon-—ia adalah soal nasib generasi berikutnya. |WAW-CSRI