Wartawan peserta bootcampt tetap melakukan peliputan di tengah ketegangan simulasi pengepungan dari milisia bersenjata di Congo | IST
Wartawan peserta bootcampt tetap melakukan peliputan di tengah ketegangan simulasi pengepungan dari milisia bersenjata di Congo | IST

JAKARTASATU.COM – Matahari baru separuh mengintip di balik bukit Sentul ketika derap sepatu PDL militer bersahut‑sahutan dengan klak-klik suara kamera. Di tanah lapang seluas beberapa lapangan bola itu, sepuluh jurnalis—biasanya bertugas memburu berita -—mengenakan helm biru muda, mengencangkan rompi antipeluru, lalu masuk dalam lingkaran taktik Pasukan Garuda. Selama dua hari itu, 14‑15 Mei, mereka resmi menjadi “rekrutan sementara” dalam Journalist Boot Camp: Experiencing Indonesia’s Peacekeeping Mission, kolaborasi perdana Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI (PMPP TNI) dan United Nations Information Centre (UNIC) Jakarta.

Dari Ruang Rapat Redaksi ke Medan Krisis

Tak ada meja bundar atau press backdrop. Yang ada justru barikade kawat berduri, bunyi letusan senjata, dan naskah situasi gawat darurat yang digelar seperti panggung improvisasi.

“Selamat datang di realitas lapangan, bukan lip service,” sapa Mayor Jenderal Taufik Budi Santoso, S.Hub., M.H.I., Komandan PMPP TNI, di garis awal simulasi. Ia menegaskan tujuan utama Latihan, “Kami ingin menunjukkan kesiapan sekaligus menggandeng media—mitra penting dalam menyampaikan kisah perdamaian.”

Indonesia kini menempati peringkat kelima dunia dalam kontribusi pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa‑Bangsa, dengan 2.559 personel tersebar di delapan misi. Salah satu kontingen terbesar, lebih dari seribu prajurit, sedang bersiap ke Republik Demokratik Kongo. Boot camp inilah ruang intip terakhir sebelum mereka terbang.

Wartawan peserta bootcamp mendengarkan keterangan dari pasukan perdamaian yang bertugas untuk membangun konstruksi | IST
Wartawan peserta bootcamp mendengarkan keterangan dari pasukan perdamaian yang bertugas untuk membangun konstruksi | IST

Saat Wartawan Menjadi “Penduduk Lokal”

Dalam skenario pertama, para jurnalis—perwakilan Antara, CNN Indonesia, Kompas TV, Kompas.com, Radar Sukabumi (Jawa Pos), Suara.com, Tribun News, TVRI, ditambah Al Jazeera dan Kyodo News, berperan menjadi warga desa yang terjebak konflik. Mereka harus bernegosiasi dengan milisi bersenjata sambil “melaporkan” situasi. Lima menit kemudian, status berubah menjadi sandera.

“Ada adrenalin yang tak bisa saya tuliskan kalau hanya membaca rilis,” ujar Irene dari CNN Indonesia usai dibebaskan dalam simulasi penyanderaan. “Dalam krisis, prioritas tim Garuda adalah melindungi kami, agar kami tetap bisa menjalankan tugas jurnalistik.”

Di sesi berikutnya, sebaris meja lipat diubah jadi pos mediasi. Satu tim jurnalis mencoba menjadi penengah antara dua kelompok bersenjata. Lembar catatan mereka cepat basah keringat, bukan karena terik, melainkan tegang memeriksa setiap kata agar tak memicu peluru imajiner.

Wartawan peserta bootcampt tetap melakukan peliputan di tengah ketegangan simulasi pengepungan dari milisia bersenjata di Congo | IST
Wartawan peserta bootcampt tetap melakukan peliputan di tengah ketegangan simulasi pengepungan dari milisia bersenjata di Congo | IST

Menjembatani Jarak Antara Publik & Pasukan

“Inisiatif ini menjembatani pemahaman publik dengan cara memberikan pengalaman langsung kepada jurnalis,” kata Miklos Gaspar, Direktur UNIC Jakarta. Pengalaman itu, harapnya, akan melahirkan liputan yang “akurat, etis, dan berakar pada pemahaman mendalam atas kontribusi Indonesia bagi perdamaian global.”

Gita Irawan dari Tribunnews Network menyebut boot camp ini “seru dan tak tergantikan”. Ia terbiasa meliput isu pertahanan, tetapi baru kali ini melihat prajurit Garuda berlatih “sedekat napas”. “Semoga di Kongo nanti mereka bisa menjalankan tugas sebaik di sini,” ujarnya.

Sementara itu, Ikhsan Raharjo dari Al Jazeera menyelipkan kekhawatiran tentang wacana pengurangan pendanaan sejumlah negara donor. “Setelah melihat langsung pentingnya misi ini, saya berharap ada solusi agar keberlanjutan operasi penjaga perdamaian terjamin,” katanya.

Dari Lapangan ke Halaman Berita

Seusai dua hari intensif, para wartawan kembali ke meja redaksi—kali ini membawa sensasi ledakan, hiruk‑pikuk evakuasi, dan sunyi mendebarkan ruang negosiasi. PMPP TNI percaya, pengalaman first‑person itu akan menjelma cerita yang lebih bernyawa, tanpa kehilangan ketegasan data.

Satu kelompok peserta bootcamp berfoto bersama pasukan Garuda | IST
Satu kelompok peserta bootcamp berfoto bersama pasukan Garuda | IST

Bagi TNI sendiri, latihan ini bagian dari scenario‑based training—tahap akhir sebelum keberangkatan. “Kami menghidupkan kompleksitas konflik agar pasukan siap secara teknis dan mental,” jelas Mayjen Taufik. Dalam sesi yang sama, para jurnalis belajar menakar batas: kapan mengutamakan keselamatan, kapan menyorot kamera, kapan meletakkan pena demi mengangkat tangan.

Di ambang senja hari kedua, topi biru dilepas, helm kembali ke gudang persenjataan. Tetapi narasi yang terpatri di kepala para jurnalis mungkin baru mulai ditulis: kisah seragam loreng yang tidak hanya menandai kekuatan, melainkan komitmen panjang merawat damai di penjuru dunia.

Dari Sentul, kabar itu akan mengalir ke ruang baca nasional—mengingatkan publik bahwa nama “Garuda” bukan sekadar lambang di dada, melainkan janji yang diterbangkan lintas benua. Jika kata‑kata mereka kelak membuat satu pembaca lebih memahami makna menjaga perdamaian, maka boot camp ini telah menuntaskan misinya bahkan sebelum pasukan benar‑benar lepas landas. |WAW-JAKSAT