Menakar Arah Vonis Hasto Kristiyanto: Antara Fakta Hukum dan Dendam Jokowi
Oleh: Firman Tendry Masengi, S.H., M.H. CLA, CTL
(Praktisi Hukum/Aktivis ProDem)
Penganiayaan menggunakan instrumen hukum sekaligus character assassination yang menjerat Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, sulit ditepis. Sebelumnya, terang dilihat publik bahwa Jokowi kecewa atas gagalnya upaya 3 periode yang diharap Jokowi untuk di endorse PDI Perjuangan. Telah bergulir sebelas kali persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Persidangan ini menjadi panggung besar drama yang mempertemukan dua kutub: fakta hukum yang kering bukti versus atmosfer politik yang penuh tekanan.
Analisa Persidangan
Keterangan Saksi dan Bukti yang Dipertanyakan
Dakwaan terhadap Hasto bertumpu pada dua hal:
1. Obstruction of Justice (Pasal 21 UU Tipikor)
Diduga menyuruh stafnya, Kusnadi, untuk menyembunyikan barang bukti terkait Harun Masiku.
2. Suap Politik (Pasal 5 UU Tipikor)
Dituding mengetahui atau terlibat dalam pemberian uang kepada Komisioner KPU melalui Saeful Bahri.
Namun dari 11 kali sidang yang digelar, berikut temuan krusial:
Kusnadi sebagai saksi kunci menyatakan tidak pernah menerima perintah eksplisit dari Hasto untuk menyembunyikan bukti.
Barang bukti disita tanpa prosedur hukum yang sah, bahkan diduga tanpa surat penyitaan dan tanpa pendampingan kuasa hukum.
Tidak ada saksi atau bukti elektronik yang membuktikan Hasto menyuruh Saeful Bahri atau mengetahui transaksi suap.
Penyidik KPK menjadi saksi, padahal ia adalah pelaksana penyitaan—berpotensi mencederai objektivitas peradilan.
Catatan penting:
Dalam putusan hukum atas Wahyu Setiawan dan Saeful Bahri—yang sudah inkracht—tidak ada satu pun yang menyebut keterlibatan Hasto. Justru nama Harun Masiku yang menjadi tokoh sentral, bukan Hasto. Artinya, secara yurisprudensi dan legal record, posisi Hasto tidak masuk dalam struktur tindak pidana pokok.
Potensi Vonis: Menakar Secara Hukum
Berdasarkan fakta dan preseden hukum, terdapat tiga kemungkinan arah vonis:
■. Putusan Bebas Murni (Vrijspraak)
Jika hakim konsisten pada prinsip “in dubio pro reo”, maka dengan tidak adanya perintah eksplisit, tidak ada rekaman komunikasi, dan tidak adanya unsur memperkaya diri, maka Hasto harus dibebaskan.
Ini akan sejalan dengan prinsip:
Nullum crimen sine lege – tidak ada kejahatan tanpa aturan jelas;
Culpa personalis – kesalahan pidana bersifat individual;
Exclusionary rule – bukti yang diperoleh dengan cara melanggar hukum tidak sah.
■. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van alle rechtsvervolging)
Jika hakim menilai perbuatan dilakukan tetapi bukan tindak pidana (karena tidak memenuhi unsur Pasal 21), maka Hasto bisa dilepaskan.
■. Putusan Bersalah (*veroordoling / guilty verdict*).
Jika hakim menjatuhkan vonis bersalah, kemungkinan besar hanya akan dikenakan hukuman ringan (1–2 tahun) dasar pertimbangan hukumnya adalah tanggung jawab moral struktural yang dibaca sebagai influence bukan tanggung jawab pidana langsung.
Namun, hal ini tidak didukung secara kuat oleh yurisprudensi yang tersedia dan cenderung di artikan sebagai kompromi politik agar “pengadilan tetap menjatuhkan vonis”, meskipun tidak sepenuhnya dibuktikan secara meyakinkan.
Aspek Politik Dalam Putusan Hakim
Inilah bagian paling sensitif namun paling nyata: apakah tekanan kekuasaan akan memengaruhi vonis?
Tanda-tanda intervensi politik tidak bisa diabaikan:
Hasto dikenal sebagai loyalis Megawati dan simbol kekuatan ideologis PDIP.
Kasus ini muncul saat suhu politik pasca-Pilpres 2024 sedang tinggi, dan konfigurasi kekuasaan Jokowi sedang rapuh.
Harun Masiku, pelaku utama, justru belum juga ditangkap, namun penyidik dan media tampak agresif memosisikan Hasto sebagai “pihak yang harus bertanggung jawab”.
KPK sendiri sedang mengalami krisis legitimasi, dan menjadikan kasus besar seperti ini sebagai ajang pemulihan citra institusional.
Dalam situasi ini, ada risiko besar bahwa pengadilan tidak hanya mendengar saksi dan bukti, tapi juga mendengar suara-suara kekuasaan yang tak tampak.
Putusan sebagai Cermin Wajah Hukum
Jika vonis dijatuhkan murni berdasar hukum, maka putusan bebas adalah langkah paling logis dan sah. Namun jika vonis bersalah keluar, maka publik berhak curiga bahwa hukum telah tunduk pada tekanan politik.
Apapun putusannya nanti, sejarah akan mencatat: bukan hanya isi amar yang penting, tapi juga keberanian moral hakim dalam menegakkan keadilan.
Publik juga menilai dan mampu menjatuhkan vonis pada Aparat Penegak Hukum.
Street Justice.!