Hizbullah Indonesia:

REZIM DRAKULA PASTI GAGAL (9): Rezim Akan Jatuh, Apabila Para Penegak Hukumnya Sengaja Menggunakan Hukum Untuk Berbuat Jahat dan Bengis Kepada Rakyatnya Sendiri…

By Sri Bintang Pamungkas

Kalau Wowok masih melakukan cara-cara Wiwik dalam menjalankan Hukum dan HAM, umumnya terhadap Rakyat dan khususnya terhadap Aktivis, maka Wowok dan Wiwik sama-sama Rezim Jahanam

Tentu tidak lupa apa yang dilakukan oleh SBY dan Megawati lalu juga Soeharto… Maka Indonesia tidak akan menjadi Negara Besar seperti diangan-angankan Wowok… Kalau yang seperti ini terjadi, Rakyat akan terus melawan dan berusaha menjatuhkannya…

I.
Menurut berita di koran-koran sejak tanggal 5 April 1995, sewaktu aku masih ada di Jerman,  tuduhan terhadap diriku sudah tersiar luas di Tanah Air. Seorang Jenderal, yang lalu diikuti pula oleh Panglima ABRI Feisal Tanjung mengatakan: “… selangkah lagi Bintang melakukan Makar terhadap NKRI…”.

Konon di Jerman saya diberitakan mendemo Pak Harto, mengejar-ngejarnya bermaksud melukainya… Ada lagi yang mengatakan, bahwa demo di Jerman itu dipimpin oleh Sri Bintang…

Subuh itu Bang Buyung Nasution menilpunku dari Jakarta agar tidak pulang… Tapi saya pulang; tanggal 13 April saya mendarat. Saat saya di Solo menjadi Saksi pernikahan anak Mudrick Sangidu pada tanggal 15 sudah ada 3 polisi menyodoriku Surat Panggilan Klarifikasi untuk datang di Mabes Polri (sekarang Bareskrim) pada Selasa 18 April.

Hari itu, dengan diantar Pak Sukardjo, Luhut Pangaribuan dan Mohamad Assegaf dari YLBHI, saya menemui Direktur Reserse Roesdihardjo. Saya bilang, saya tidak mau diperiksa selewat jam 5 sore; saya minta dalam perkara apa saya dipanggil, kapan dan dimana; saya pun minta Laporan Polisi. Roesdihardjo menyanggupi. Tanya-jawab berlangsung dengan Penyidik, LetKol Arifin Rachim. Karena Laporan Polisi tidak kunjung diberikan, saya minta berhenti, dan klarifikasi ditunda sampai tanggal 20. Tanggal 20 Laporan Polisi diberikan, tanya-jawab dilanjutkan.

Pelapor adalah seorang Kapten Polisi Muchgiarto.  Katanya, saya mengejar-ngejar Soeharto di Kota Hannover pada 1 April, sambil menyebar-nyebarkan Stiker SDSB, Soeharto Dalang Segala Bencana (ciptaan Nuku Soieiman, terpidana 8 tahun di Cipinang).

Tiga orang Polisi dikirim ke Konsulat RI di Berlin untuk mencari tahu ceramahku di Berlin 9 April di Technische Universitet Berlin. Bulan Mei ada panggilan lagi. Kali ini sudah menjadi Saksi… Sambil menunggu, kebetulan ada seorang polisi di sebelah saya; kami mengobrol. Dia mengaku bernama Muchgiarto.

“Kapten?”,
“Ya, Pak!”

Saya tanya lagi, apa akhir-akhir ini ada di Jerman. Dia bilang tidak.

“Tahu peristiwa Jerman?!”
“Dari koran saja, Pak!”

Padahal Pelapor adalah sekaligus Saksi. Pada November saat di Pengadilan, Hakim menolak menghadirkan Muchgiarto; juga menolak Presiden Soeharto dihadirkan. Padahal Soeharto adalah Saksi Korban yang seharusnya dihadirkan pertama kali

Sebagai anggota DPR/MPR RI saya menolak diperiksa sebelum ada persetujuan dari Presiden. Sesudah resmi di- recall pada Juli 95 saya menjadi Tersangka. Tuduhan berubah, dari Makar menjadi Menghina Presiden. Selama itu aku tidak pernah ditahan sampai akhirnya masuk Cipinang. Mungkin Soeharto takut kepada Helmuth Kohl, kanselir Jerman… Vonis jatuh dengan 2 tahun 10 bulan. Tgl 5 Mei 97 aku masuk Cipinang sesudah Banding dan Kasasiku ditolak. Aku keluar beberapa hari sesudah Soeharto jatuh.

Peninjauan Kembali yang aku ajukan pada 2000 baru diputus  MA pada 2006: “Tidak terbukti secara meyakinkan menghina Presiden”.

II.
April 1995 itu aku mendapati pula Surat dari Kejaksaan Agung RI, yaitu perintah mencegah diriku bepergian ke luar Negeri. Kemudian aku ketahui, bahwa ketetapan itu dibuat untuk memudahkan petugas negara melakukan penyelidikan dan penyidikan menangani Perkara Jerman.

Bang Buyung dan Pak Assegaf bersama Hendardi dan lain-lain menyampaikan Gugatan ke PTUN, menolak Pencegahanku ke Luar Negeri.

Dengan alasan, aku masih berstatus Saksi aku menang: PTUN membatalkan Pencegahanku ke Luar Negeri. Tetapi Juli, sesudah menjadi Tersangka, larangan itu diterbitkan lagi oleh Jaksa Agung untuk satu tahun…

III.
Tanggal 5 Maret 1997 aku ditilpun Gatot Hendrarto… Dia bilang sebagai teman kakakku Sri Hening, dia ingin tahu cerita saya tentang PUDI, partai baru yang aku deklarasikan di LBH 29 Mei 1996 bersama Julius Usman, Saleh Abdullah, Jus Suma di Praja, Buce dan lain-lain.

“Itu Gatot Kepala Intel Kejagung”, kata Julius.

Gatot mengundang makan siang di Arirang, ajaku kepada teman-teman PUDI itu untuk pergi bersama. Kami berlima datang. Selesai makan, kami diajak ngobrol di Kantor Gatot, Gedung Bulat, yang tidak jauh dari situ.

Kami mengobrol tentang PUDI, tentang Menantang Soeharto dalam Pilpres Langsung, tentang Kartu Lebaran Politik PUDI, tentang Tatanan Baru pasca Soeharto dan lain-lain. Ternyata obrolan itu sedikit-demi sedikit dilaporkan kepada Jaksa Agung Singgih di lantai atas.

Jam 11 malam kami mohon diri mau pulang. Tapi ditolak. Kami disodori Surat Penangkapan dan Surat Penahanan. Apabila tidak bersedia, akan dilaporkan kepada BAIS, Badan Intelijen Strategìs. Setelah berkutat dan berunding kami bertiga menandatangani surat-surat lewat tengah malam. Jus dan Buce boleh pulang. Istriku mengirim bantal, selimut dan lain-lain.

Kami mendapat sebuah sel di Rutan Kejagung. Esoknya saya dipindah ke sel tersendiri. Jaksa Mulyono mau memeriksa saya hari itu. Aku dituduh melanggar UU Anti Subversif yang ancamannya hukuman mati. Ketika kami duduk berhadapan, Mulyono menepis “tumpang kaki”-ku dengan kasar. Aku segera berdiri, lalu masuk ke selku dan menguncinya dari dalam!

“Lu nggak usah datang lagi, ya… Kalau tidak, aku bongkar keterlibatanmu dalam Perkara Eddy Tansil…!”

Mulyono tidak pernah datang lagi, diganti Jaksa Silangit. Ada beberapa pertanyaannya yang saya tolak. Dia kesal dan mengeluarkan kata-kata kasar. Saya beranjak dari kursi dan menjauhi meja pemeriksaan. Rupanya dia mendekatiku untuk memaksaku duduk kembali. Aku menghindar dan menabrak sekosol di belakangku hingga roboh menimbulkan suara keras. Para pegawai lain berdiri dan melihat kami sedang berdiri berhadap-hadapan. Pemeriksaan berhenti.

Esoknya Koran ramaì: “Bintang tutup mulut”, katanya. Hari berikutnya Baharuddin Lopa, Marzuki Darusman, Albert Hasibuan dan laìn-lain dari Komnas HAM datang. Saya ceritakan semua kejadian… Mereka tak bisà berbuat apa-apa, selain mencatat.
Jaksa Agung Singgih malah berkomentar:

“Nanti saya carikan Jaksa Perempuan yang cantik biar mau bicara…

Jadi dari saya tidak ada BAP. Ketika saya didatangkan dari Cipinang ke sidang di PN Jakarta Selatan, saya melihat Silangit duduk sebagai Penuntut Umum, saya serenta menolak kehadirannya di Pengadilan sebagai Penuntut Umum yang sekaligus adalah Penyidik (baca KUHAP Pasal 138 (1)). Karena Hakim menolak, saya _walk-out_ keluar ruang sidang…; diikuti mas Bambang Widjojanto dan Pengacara-pengacara lain. Lewat desakan Bang Buyung, dua minggu kemudian Silangit diganti… Sidang-sidang terhenti sebelum Putusan, karena Soeharto keburu jatuh…

Saya meminta Sidang dibuka kembali setelah UU  Anti Subversif dicabut Habibie. Saya diputus bebas… Aku sempat mengunjungi Gatot di Taman Sriwedari, Cibubur. Seminggu kemudian dia meninggal…

IV.
Belum jam 05:30 pada 2 Desember 2016 datang 3 truk pasukan Brimob untuk menangkap saya; tanpa surat penangkapan. Mereka anak-anak muda yang sudah diajari berbuat bengis. Saya hanya bisa cuci muka dan ganti sarung dengan celana dan ganti baju.

Di depan Penyidik culun yang mengaku bernama Suharto asal Purwokerto dan membanggakan diri sebagai anak turun Jenderal Sudirman, saya mau diperiksa.

Saya bertanya tuduhan terhadap saya, dan peristiwanya seperti apa. Tuduhannya makar dan TKP-nya di Kalijodo.

“Lho, kalau begitu harus ada Pengacara…”
“Kami panggilkan!”

Saya pun minta dibacakan tuduhannya!”

“Jangan-jangan baca dari Lap Top… Saya minta buku KUHP-nya…!”

Pengacara pun datang… perempuan. Saya tidak menduga dia langganan Polisi… Pasal 107 KUHP pun dibacakan… Saya sendiri sudah hafal…

“Dari peristiwa apa Saudara tahu saya mau makar?!”
“Dari orasi di Kalijodo…”
“Saudara pernah ke Kalijodo..?!”
“Belum!”
“Apa yang Saudara ketahui tentang saya di Kalijodo?!”
“Itulah yang ingìn saya ketahui dari Bàpak…”

Wah, Sontoloyo Bocah iki, kataku di dalam hati…

“Ya, sudah kita mulai saja.. “

Lalu dimulailah BAP. Setelah pertanyaan rutin, apa Bapak sehat, apa Bapak merasa terpaksa, apa tanya-jawab bisa dimulai… Lalu dimulailah pertanyaan dalam “pokok perkara…”

“Apa pekerjaan Bapak yang sekarang?!”
“Saya nggak mau menjawab pertanyaan basa-basi itu…”
“Jadi mau langsung saja, Pak?”
“Ya, langsung saja!”

“Apa acara Bapak datang ke Kalijodo?!”
“Saya tidak mau menjawab!”
“Lho, bagaimana, Pak?!”
“Ya, tulis saja: Sri-Bintang tidak mau menjawaɓ!”

Penyidik masih bertanya  bagaimana selanjutnya. Saya jawab, lanjutkan saja kalau masih ada yang ditanyakan…

“Bersama siapa saja Bapak di sana?!
“Tulis, ya: Sri-Bintang tidak mau menjawab!”

“Selesai, ya…”, kataku lagi. “Untuk selanjutnya saya tidak mau menjawab!”

BAP saya periksa, lalu saya tandatangani. Selesai. Kesimpulan saya, Penyidik ini tidak tahu apa-apa, tapi diperintah untuk MENGOREK keterangan dari saya, agar bisa disusun menjadi Surat Dakwaan. Silahkan saja kalau mau mengorek dari saksi-saksi lain!

Selama hampir 4 bulan dalam tahanan Polda Metro Jaya tidak ada satu pun pemeriksaan kepada saya. Itulah hasil karya bersejarah Tito Karnavian agar bisa diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri-nya Wiwik. Pak Assegaf berhasil memaksa Tito mengeluarkan saya, tanpa SP3.

Jakarta, 18 Mei 2025
SBP