Catatan Dari Cilandak: Komunitas, Pilar Sunyi yang Menjaga Kebudayaan
DI tengah hingar-bingar modernitas dan derasnya arus digital, komunitas hadir sebagai ruang sunyi yang tetap menjaga denyut kebudayaan.
Mereka bukan headline di portal berita, bukan juga topik viral di media sosial. Namun justru di balik senyap mereka, tersimpan kekuatan besar: keberlanjutan nilai, memori kolektif, dan jati diri yang nyaris terlupakan.
Kebudayaan hari ini sedang diuji. Bukan semata oleh ancaman globalisasi, tapi oleh kecepatan zaman yang menafikan akar. Kita hidup dalam era komunikasi instan, tetapi miskin makna. Di situlah peran komunitas menjadi vital—mereka menjaga bahasa ibu ketika generasi muda mulai asing dengan tutur neneknya; mereka melestarikan tari, lagu, dan ritus ketika negara sibuk menata protokol.
Kini komunikasi komunitas telah bertransformasi. Mereka tak lagi hanya berkumpul di balai warga atau lapang terbuka, melainkan berpindah ke ruang digital. Grup percakapan, siaran langsung, podcast, hingga konten pendek menjadi medium baru mereka. Dan meski bentuknya berubah, semangatnya tetap: menyambung rasa, menyuarakan nilai, merawat identitas.
Namun, ancaman tetap nyata. Banyak komunitas terseret menjadi peniru budaya pop, kehilangan arah dan makna. Ketika komunikasi hanya mengejar perhatian dan bukan kesadaran, maka yang lahir bukan budaya, tapi sekadar tontonan. Oleh karena itu, penting bagi komunitas untuk tidak hanya bertahan, tapi juga bertumbuh secara sadar. Komunitas harus menjadi ruang refleksi, bukan sekadar reproduksi.
Harus mencipta, bukan hanya mengikut. Dan yang paling penting, komunitas harus percaya bahwa mereka bukan sisa masa lalu—melainkan fondasi masa depan yang penuh makna. Karena sejatinya, kebudayaan tidak mati oleh waktu. Ia mati ketika kita lupa siapa yang menjaganya. Jadi betul kata Sutan Takdir Alisjahbana, “Kebudayaan adalah usaha manusia untuk mengubah alam dan masyarakat, hingga menjadi lebih manusiawi.”
Hal ini juga Rendra (W.S. Rendra) sampaikan, “Kita harus membentuk masyarakat yang berbudaya, bukan masyarakat yang hanya mengenakan budaya sebagai aksesoris.”
Dan yang di ujung tulisan ini saya inigin kutip Umar Kayam: “Komunitas adalah rumah bagi kebudayaan — tempat di mana manusia bisa merasa utuh sebagai dirinya sendiri.” Akhirnya kutipan-kutipan ini bisa menjadi pembuka atau penegas kita bahwa meski Sunyi yang menjaga Kebudayaan adalah kemulian.
Tabik…!!!
(aendra medita)