Geohumanisme Sebuah Catatan
Taufan S Chandranegara, praktisi seni, penulis.
Ini sekadar catatan di buku harian saja. Enggak usah serius banget bacanya. Konsep, ide dalam etika suatu negara. Menuju pada satu suara komitmen idealisme kenegaraan.
Awal dari pemikiran negara dalam teori sangat luas. Deskripsi pemikiran tentang negara terus bergulir, dipelajari oleh zaman.
Manifestasi sejarah itu menjadi teori dasar berfikir. Terus mencari hakikatnya; menemukan momentum negara ideal dalam struktur azas hukum lampau hingga terkini, tapi sepertinya mungkin belum ketemu; perang masih ada di bola Bumi.
Proses argumentasi perdamaian dunia dicatat sejarah, untuk diketahui generasi diwaktu zaman berbeda-beda terus berlari. Semoga bermanfaat sebagai sebuah pelajaran dasar saja.
Perayaan demokrasi menuju angkasa dikumandangkan Cleisthenes pada era 508-507 SM, di kurun waktu zaman sejak era sejarah negara tradisi-monarki, menuju negara republik-demokrasi. Inteligensi berkembang dalam etos politik strategis kontemporer.
Pola perdagangan perlahan menjauh dari rasisme politik dagang, meski belum sejernih tetes embun. Meski cuaca perang masih menggema di benua jauh.
Transkrip sosialisme dari batas langit. Mungkin menjadi salah satu elemen demokrasi, muncul dari aklamasi kultur geobudaya, di Barat jauh sana. Menjadi senjata ampuh anti-ketakutan bagi mazhab kapitalis-pada sosok si sosialisme sekaligus dihantui oleh si marxisme, barangkali loh, lantas paradoksal menuju langit dunia.
Rame deh argumentasi kaum pintar muter-muter di mazhab teori textbook, lawas pula, and dari itu-ke itu aza hingga kini, hiks. Jalan ditempat, secara umum di dunia kagak maju-maju menyoal politik negara demokrasi, heran deh.
Barangkali belum ada teori tata kenegraan terbaru, selain daur ulang ide. Namun di abad kontemporer kini mulai tampak para murid mengencingi teori sembari berlari, keren tuh.
Lihat saja mural-mural politik kebudayaan di dinding metropolis modern lokal juga dunia. Di antara angkasa kata “Viralkan.” Jreng! Cakep deh.
Pemberontakan pemikiran kebaruan di luar ‘formalitas’, terkadang diperlukan untuk kebaruan menemukan jawaban keilmuan dari pertanyaan. Jika menilik pada seni perdagangan kapitalistik, tak peduli demi edukasi publik atau apapun.; Jika tak menguntungkan majikan korporasi, maka ditutuplah sebuah perseroan usaha dagang apapun itu.
Tak peduli apakah itu media atau toko swalayan, dengan catatan kaki tak memenuhi standar kelayakan keuntungan.
Sebut saja era geokultur global kini. Kadang-kadang demokrasi diselewengkan oleh negara individual otoriter-diktator, kalau masih ada-masih ada kale ye. Lantas fungsi rakyat sangat fundamental di isme-demokrasi, terkadang diremehkan, dianggap sudah diwakili oleh parlemen, iyau! Apakah keputusan parlemen selalu seratus persen mewakili keinginan rakyat.;
Pertanyaan itu diangkasa dunia tak pernah ada jawaban di hakikat, realitasnya. Wacana etika politik partisan memberi isyarat asap indian, meski di titik tertentu dapat dikebiri oleh rakyat, semisal runtuhnya kepercayaan rakyat, akibat korupsi masih menjadi primadona.
Memicu bara menggesek konflik, terjadi pada Hosni Mubarak, mantan presiden Mesir, dilengserkan rakyat oleh pola demokrasi milik dunia. Muncul pola politik baru strategis digelar. Guna mengembalikan kepercayaan rakyat.
Konsep pola politik baru berjalan sebagaimana mestinya menumbuhkan iklim perdagangan untuk ekonomi rakyat, setelah gundah gulana sejenak, akibat trauma konflik-invasi militer, misalnya, akibat kepentingan politik atas nama sebuah negara demokrasi.
Masih ada pertikaian, di antara bangsa-bangsa, perang panas dingin di benua sana, berlomba unjuk senjata modern. Apa sesungguhnya kehendak kekuasaan, dari suatu pemerintahan. Perdamaian bagi bangsa atau pembunuhan pada hak-hak kemanusiaan. Jika konflik, antar bangsa-bangsa memicu tragedi kemanusiaan di benua mana pun. Ke mana arah, tujuan hidup telah disepakati.
Ketika pemimpin sebuah bangsa telah terpilih, sebagai pemegang mandat rakyat di era isme-demokrasi. Barangkali pertanyaan saja tidak cukup. Jika melihat kurun waktu sejarah bangsa-bangsa dari abad di masa kekuasaan imperium monarki Roma, misalnya, telah dicatat sejarah.
Mampu memperbudak, membunuh manusia dalam kedok istilah keren-Gladiator. Seakan-akan kekuasaan manusia lebih hebat dari Sang Pencipta, maka penampakan diktum kekuasaan terlihat melewati batas hukum humanisme dari langit.
Lantas kekuasaan monorel manusia sebagai diktator-isme, monarki absolut, kini duduk di singgasana demokrasi, terkadang sesuka hati.; “Sekarang era demokrasi loh.” Terus tetap boleh bar-bar gitu ya.
Ahai, di ketawain Semar tuh.
Sebenarnya siapa sih penentu keismean-politik, kebudayaan, sebuah negara; seolah-olah menjadi penentu hidup-matinya nasib manusia, dikala masa sejarah lampau hingga kini.
Lihat saja perang di benua jauh tak juga mau merada hanya karena sebuah isme, lantas Tuhan Yang Maha Esa, tak ikut capur urusan manusia, tetaplah di atas namakan. “Eh! Halah! Manungsa. Mau jadi apa sih kamu.” Kata Semar terkekeh-kekeh.
Bagaimana dengan demokrasi modern kini, lahir dari geobudaya dunia. Mampukah menciptakan perdamaian dunia. Disisi lain di antara negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terus berlomba menciptakan senjata modern nuklir, demi satu alasan kemajuan ilmu, tekno persenjataan modern, demi keamanan negaranya demi kemanusiaan, sloganis di angkasa. Hampir setiap waktu.
Dari masa ke masa, pada umumnya, manusia diberi ajaran oleh moral lingkungan untuk senantiasa berbuat baik. Seperti tertulis di kitab-kitab suci kemaslahatan akal budi manusia, sebagai ilmu pengetahuan untuk hidup bersama di planet dunia, memberi tolok ukur kebaktian pada hakikat kebaikan, kebenaran. Itupun manusia masih berani ngeles, terselubung kalimat ‘khilaf’.;
Kalau melingkupi kesalahan mengambil keputusan, misalnya, di ranah personal ataupun kelompok. Padahal bersamaan dengan ‘Si Khilaf ‘ itu pula konflik telah berlangsung, tak peduli aturan hukum tetap kemanusiaan telah diberkati Ilahi. Sebagaimana telah tertulis di kitab-kitab suci, di ranah hidup kebudayaan hingga terkini, mau contoh; itu bangsat drakula koruptor masih cengar-cengir.
Kadang-kadang ada pertanyaan kepada alam raya. Untuk apa kehadiran makhluk manusia di planet bumi. Jika masih ada pertikaian atas nama sebuah isme. Apakah karena manusia tak mampu, mengendalikan kehendak untuk damai di bumi, berbanding lurus dengan positif. Meski akhirnya pilihan kembali pada nurani bening.
Naif, terkadang diperlukan, barangkali hal itu mampu menjadi kontrol sosial ketika kehendak damai bagi jiwa individu di arena kehidupan demi menempuh cita-cita kemaslahatan hidup bersama.
Tampaknya pelajaran berdamai dengan nurani, sebuah pencarian pengetahuan tanpa henti. Setidaknya, mungkin mampu meredam konflik kepentingan, di tengah proses belajar bersama menuju perdamaian dunia ke eskalasi humanisme.
Menuju kesetaraan kehidupan modern demokrasi-tampaknya hingga kini konsisten menjadi slogan belaka. Meski tampaknya demokrasi atau hakikat negara demokrasi, masih terus sebagai sebuah pelajaran tanpa akhir, nampaknya.
Salam Indonesia milik rakyat. *
Jakartasatu Indonesia, Mei 19, 2025.