Lima Kali Dijemput Drivel Ojol Jebolan S2: Jalan Ninja Terakhir?
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Belum lama ini, saya dijemput oleh seorang driver ojol yang fasih mengutip Gramsci dan Habermas dalam satu tarikan gas. Ia mengakhiri kalimatnya dengan, “Kritik ideologi tidak akan membayar cicilan motor, Bang.”
Itu kejadian kelima dalam satu bulan. Bukan yang pertama, dan jelas bukan yang terakhir. Dalam lima kesempatan berbeda, lima driver ojol berbeda, lima kisah berbeda, namun satu kesamaan yang mencolok: semua lulusan S2. Master degree. Magister. Ada yang dari universitas negeri ternama, ada yang lulusan kampus luar negeri. Tapi semuanya kini bekerja dengan helm hijau neon dan ponsel cerdas, bukan di balik meja atau mimbar ilmiah, tapi di balik setang motor 150 cc.
Ini bukan plot film pendek indie. Ini kenyataan yang panjang dan bikin perih, namun disajikan negara dalam format realitas tragikomedi.
Meritokrasi yang Jadi Mitos
Kita sering disuguhi jargon, “kerja keras akan membuahkan hasil. Pendidikan tinggi akan membuka pintu kesuksesan.” Tapi di negeri ini, pintu itu sering kali tidak dibuka, bahkan tidak memiliki gagang. Yang ada hanyalah QR code untuk check-in dan aplikasi yang minta bintang lima.
Dalam sebuah pidato kenegaraan, Bung Hatta pernah berkata, “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir, tetapi jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur.” Sayangnya, kini banyak lulusan S2 justru terjebak di jembatan tol, menunggu orderan.
Prof. Emil Salim juga pernah mengingatkan, “Sumber daya manusia Indonesia bisa maju, asal diberi kesempatan dan tempat yang layak.” Sayangnya, yang tersedia saat ini justru tempat duduk untuk penumpang dan kotak makanan hangat di belakang.
