Merespon Pernyataan Wamendagri: Pemilu Berbiaya Tinggi 
dan Potensi Korupsi Dini

Oleh Imam Wahyudi

KONTESTASI demokrasi yang berpotensi korupsi mentradisi. Korupsi administrasi, menggoyang konstitusi hingga jalan senyap kolusi dinasti. Sedari dini.

Itu pula benang merah pernyataan Wamendagri, Bima Arya. Ungkapan yang membuka    ruang diskusi seputar demokrasi negeri ini. “Pemilu Serentak 2024 dengan niat menghemat anggaran, justru berkebalikkan,” katanya di ruang diskusi DPP Partai Demokrat, Senin, 19 Mei 2025.

Pemilu serentak yang mencakup pemilihan presiden, legislatif, hingga kepala daerah — terbukti justru menghabiskan anggaran amat sangat besar. Mencapai Rp 71,3 triliun atau naik hampir separuh anggaran 2019 senilai Rp 45,3 triliun.

Bila boleh berandai, membandingkan pemenuhan rumah bersubsidi saja — sungguh angka fantastis. Kebutuhan rumah sederhana per medio 2024, mencapai 203,8 ribu unit. Harga unit per 01 Januari 2024, berkisar Rp 166 – Rp 240 juta. Dengan asumsi harga tertinggi, maka anggaran Pemilu 2024 setara biaya pengadaan mencapai 300 ribu unit rumah bersubsidi. Kebutuhan rumah bersubsidi untuk rakyat secara menyeluruh sudah bisa terpenuhi.

Tentu saja, membandingkan nilai anggaran belanja antarkeduanya tidak setara kebijakan. Konstruksi biaya kompetisi demokrasi tak pernah presisi. Orientasi biaya tinggi itu pasti. Di sisi ini pula potensi korupsi berkelindan. Tak pendek menduga, sebelum fakta — tapi bau kentut tak pernah surut.

***
“DEMOKRASI adalah, ketika orang-orang yang bodoh memilih pemimpin mereka sendiri,” kata Winston Churchill (1874 – 1965) yang mantan Perdana Menteri Britania Raya.

Barisan “orang-orang bodoh” yang rela mengais nasi bungkus dan sekadar jajan hanya sehari esok. Mereka adalah mayoritas yang bagai terlewatkan pencerahan. Demokrasi apa boleh buat sekadar “numpang lewat”. Bahkan sebatas tradisi lima tahunan. Masih mencari jati diri.

Lantas, serupa apa harapan  kontestasi demokrasi sejati? Perubahan sistem pemilu menjadi kata kunci. Betapa pun tak semudah membalikkan telapak tangan, tak semudah pula mengatakan — kembali diperlukan wacana. Ragam kepentingan politik bergelantungan.

Tak kurang pula mendikte ambang batas 20% atasnama “aji mumpung”. Padahal potensial berseberangan dengan cita-rasa universal global. Terlebih, ketika dominasi kekuasaan itu berbalik surut. Hingga tak berani lagi berkacak pinggang. Saat itulah, kesetaraan berdemokrasi menjadi kerinduan bersama.  Kesetaraan bagi semua.

Pemilu dewasa ini tak terhindarkan bergandeng tangan politik uang. Konon pula, tak sulit memenangkan kontestasi  — selama logistik berlimpah. Kadung menjadi “buah bibir” bermakna “rahasia umum”. Merangkul informal leader hingga kepala desa. Semisal Rp  100 juta setiap kepdes yang terinventarisasi,, pada kesempatan pertama  sudah menuai tengarai korupsi. Cuma separuh disawer ke calon pemilih. Pemberlakuan sanksi, sebatas bunyi.

Nah, politik uang atau _money politic_  —  identik dengan si pemberi sebagai pelaku tindak pidana pemilu . Saatnya diberlakukan sanksi terhadap kedua pihak. Sejalan itu, sudah saatnya pula penggunaan  e-voting.  Dimungkinkan tak ada lagi manipulasi suara pada jenjang perhitungan menuju rekapitulasi. Sistem pemungutan suara elektronik, memungkinkan kontrol bagi para pemilihnya. Efisien, cepat, berbiaya lebih murah dan minimalisasi intervensi.

Demokrasi kini belum surut potensi korupsi. Tak hendak gebyah uyah, kiranya cukup banyak yang berorientasi pada  dedikasi dan prestasi. Namun laporan pandangan mata, memicu upaya “balik modal”.

Bima Arya yang pernah  menjadi peneliti politik, tentu maklum terhadap keberlangsungan sistem pemilu. Dalam kapasitasnya sebagai wamendagri berkewajiban membuka wacana opsi. Demokrasi  di mata John F. Kennedy (1917 – 1963), mantan Presiden adalah “proses pengabdian, bukan penaklukan.”

Sejalan pernyataan penerusnya, Barack Obama. Bahwa “demokrasi tidak hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang memberdayakan masyarakat untuk menciptakan perubahan.”

Demokrasi adalah konsep dan pilar utama dalam masyarakat modern. Pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Pada sisi ini, partai politik berperan sebagai pilar demokrasi.***

– imam wahyudi (iW)