Paradoks Koperasi Merah Putih: Ketika Negara Mengingkari Nilai-Nilai Dasar Koperasi
Oleh: Untung Nursetiawan
Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Koperasi dalam beberapa literasi yang saya baca, sejatinya bukan sekadar entitas ekonomi saja, melainkan manifestasi dari semangat kolektif dan solidaritas. Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, mungkin tidak pernah menyangka jika pada akhirnya koperasi dijadikan sebagai proyek pemerintah dan alat politik kekuasaan.
Bagi Hatta, koperasi adalah gerakan akar rumput—dibentuk dari bawah, oleh rakyat, karena kesadaran bersama untuk menghadapi ketidakadilan ekonomi dan membangun kemandirian kolektif.
Oleh karena itu, wacana dan akan terbentuknya koperasi Merah Putih oleh pemerintah rezim presiden Prabowo membawa serta paradoks besar yang patut direnungkan bersama.
Sebelum membahas lebih jauh koperasi Merah Putih, kita perlu mengingat kembali esensi koperasi menurut Bung Hatta.
Hatta menekankan bahwa koperasi adalah bentuk usaha bersama berdasarkan semangat gotomg royong dan tolong-menolong, koperasi adalah sarana untuk memperkuat posisi masyarakat kecil dalam struktur ekonomi yang timpang.
Lebih dari itu, koperasi tumbuh dari kesadaran kolektif. Ia muncul karena kebutuhan nyata di tengah masyarakat. Maka keberhasilan koperasi tidak bisa direkayasa dari atas. Ia bukan sesuatu yang bisa dibentuk dengan surat keputusan, dicanangkan dalam pidato, atau dikemas sebagai proyek pemerintah. Sebaliknya, koperasi akan tumbuh dan kokoh manakala ia lahir dari inisiatif anggota yang percaya dan memahami makna koperasi itu sendiri.
Latar belakang pembentukan Koperasi Merah Putih oleh pemerintah, konon, dilandasi oleh keinginan untuk mengonsolidasikan kekuatan ekonomi rakyat, khususnya pelaku UMKM, agar memiliki daya saing nasional dan global. Secara naratif, gagasan ini terdengar baik—bahkan mulia. Namun jika ditelisik dari pendekatan dan metode pelaksanaannya, tampak jelas bahwa koperasi ini merupakan bentuk _top-down approach_ yang bertentangan dengan prinsip koperasi sejati.
Koperasi Merah Putih tidak lahir dari kebutuhan dan kesadaran kolektif masyarakat yang mengorganisasikan dirinya untuk membentuk koperasi. Koperasi merah putih lahir karena ada kehendak politik dari atas. Ada aktor negara yang memprakarsai, memformulasikan, dan bahkan memaksakan gagasan ini kepada rakyat. Dalam konteks ini, koperasi tidak lagi menjadi “dari, oleh dan untuk anggota”, melainkan menjadi instrumen negara untuk mencapai tujuan yang tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi rakyat.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam sejarah koperasi Indonesia, kita pernah melihat bagaimana koperasi menjadi alat negara di era Orde Baru. Koperasi Unit Desa (KUD) misalnya, dikembangkan secara massif oleh pemerintah sebagai bagian dari program pembangunan. Namun, karena ia tidak lahir dari kehendak masyarakat, KUD gagal menjadi kekuatan ekonomi rakyat. Ia lebih banyak menjadi beban, bahkan tak jarang dijadikan kendaraan politik oleh elite politik.
Koperasi Merah Putih tampaknya mengulang fenomena KUD. Dengan label nasionalisme dan semangat merah putih, koperasi ini justru menegasikan makna koperasi itu sendiri. Nasionalisme dalam koperasi bukan terletak pada atribut simbolik semata, tetapi pada kemampuan koperasi untuk memperkuat kemandirian rakyat, membebaskan mereka dari cengkeraman ekonomi kapitalistik, dan membentuk solidaritas sejati antar anggota.
Yang paling menyakitkan dari pembentukan Koperasi Merah Putih bukan hanya karena metode top-down-nya, tetapi karena ia secara terang-terangan mengingkari warisan nilai koperasi yang diajarkan Bung Hatta. Dalam semangat Hatta, koperasi adalah ruang demokrasi ekonomi. Setiap anggota memiliki suara, memiliki kendali, dan memiliki tanggung jawab. Koperasi bukan organisasi hierarkis yang dikendalikan oleh elite atau pejabat. Maka ketika negara mengambil alih ruang ini dan menciptakan koperasi versi pemerintah, sejatinya negara telah mengingkari semangat demokrasi ekonomi itu sendiri.
Pembentukan koperasi oleh negara juga menciptakan kecanggungan struktural. Bagaimana bisa anggota anggota formalitas merasa memiliki koperasi jika ia tidak terlibat dalam proses pembentukannya? Bagaimana bisa koperasi menjadi alat pemberdayaan jika relasi kekuasaannya sudah timpang sejak awal? Ini bukan lagi koperasi, melainkan proyek ekonomi berbungkus koperasi.
Kritik terhadap Koperasi Merah Putih juga beralasan jika kita melihat realitas di lapangan. Banyak koperasi bentukan pemerintah yang pada akhirnya hanya ada di atas kertas. Mereka hidup sebentar, menjadi angka dalam laporan kementerian, lalu mati perlahan karena tidak punya akar sosial. Ketika rakyat dijadikan objek pembangunan, dan bukan subjek yang menentukan arah, maka keberhasilan hanyalah ilusi sesaat.
Lebih ironis lagi, pendekatan seperti ini justru melemahkan semangat kolektif yang menjadi inti dari koperasi. Ketika rakyat terbiasa menerima koperasi sebagai “bantuan”, mereka kehilangan semangat untuk berinisiatif dan berorganisasi secara mandiri. Ini bertentangan dengan semangat _self-help_ yang menjadi pilar gerakan koperasi di seluruh dunia.
Satu hal yang selalu ditekankan Bung Hatta dalam mengembangkan koperasi adalah pentingnya pendidikan koperasi. Tanpa pendidikan, koperasi hanya akan menjadi nama tanpa jiwa. Pendidikan koperasi bukan sekadar mengajarkan cara membuat laporan keuangan, tetapi membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya kerja sama, tanggung jawab bersama, dan kepemilikan kolektif.
Pembentukan Koperasi Merah Putih yang instan dan elitis menunjukkan bahwa pendidikan koperasi tidak lagi menjadi prioritas. Proses pengorganisasian diabaikan, konsolidasi sosial dilewati, dan yang terjadi hanyalah implementasi kebijakan secara sepihak. Ini memperlihatkan bahwa pemerintah lebih tertarik pada hasil cepat daripada proses yang benar.
Paradoks ini harus segera disadari dan dikoreksi. Pertama, pemerintah harus berhenti memperlakukan koperasi sebagai instrumen proyek pembangunan. Koperasi bukanlah lembaga ekonomi biasa, melainkan gerakan sosial yang membutuhkan waktu, proses, dan partisipasi aktif.
Kedua, jika memang ada niat baik untuk memperkuat koperasi, maka seharusnya pemerintah memfasilitasi pendidikan koperasi, memperluas ruang partisipasi, dan memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk membentuk koperasi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Pemerintah bisa mendukung, tapi tidak mendikte.
Ketiga, koperasi yang sudah terlanjur dibentuk secara _top-down,_ termasuk Koperasi Merah Putih, harus direformulasi secara struktural dan kultural. Berikan ruang demokrasi sejati kepada anggotanya. Biarkan mereka menentukan arah dan kebijakan koperasi. Jika tidak, maka koperasi ini akan bernasib sama dengan koperasi-koperasi proyek yang mati suri.
Dalam dunia yang semakin kapitalistik, koperasi adalah harapan terakhir bagi rakyat kecil untuk tetap bertahan dan berkembang. Tapi harapan itu hanya akan terwujud jika koperasi tetap berakar pada nilai-nilai dasarnya: kesetaraan, partisipasi, solidaritas, dan kemandirian. Negara seharusnya menjadi fasilitator, bukan produsen koperasi.
Koperasi Merah Putih bisa menjadi simbol kebangkitan koperasi nasional, jika ia dibentuk dengan pendekatan partisipatif, bukan elitis. Namun jika sebaliknya, maka koperasi ini hanya akan menjadi simbol pengingkaran terhadap warisan Bung Hatta. Dan lebih dari itu, menjadi pengingat bahwa pemerintah belum juga belajar dari sejarah bangsa.