Cerpen Satire Sejarah
“Raja Jawa Akui Jokowi & Prabowo Sebagai Guru”
Firman Tendry Masengi
Praktisi Hukum/Aktivis ProDem
———-
Angin panas menyapu candi tua di lembah gaib Singasari. Di altar keramat yang tak pernah dikunjungi turis, Ken Arok—raja pendiri dinasti, pembunuh yang diabadikan sejarah—duduk bersila. Jubah perangnya lusuh, tapi sorot matanya tetap tajam. Tubuhnya kini bukan darah dan daging, melainkan api dan amarah.
Hari itu, arwah Ken Arok gelisah.
Ken Arok:
“Sudah ribuan tahun aku diam. Tapi kini, aku tidak tahan lagi. Ada dua manusia yang lebih lihai dalam tipu muslihat dan perebutan kuasa dibanding aku: satu namanya Prabowo, satunya Jokowi.”
Dari kabut waktu, layar dimensi terbuka. Terlihat Prabowo bersalaman dengan Jokowi di atas MRT, seolah dua musuh bebuyutan mendadak sahabat karib. Ken Arok mendesis.
Ken Arok:
“Lho, ini manusia luar biasa. Dulu jadi lawan dua kali, sekarang malah jadi anak buah. Kalau aku dulu membunuh Tunggul Ametung untuk jadi penguasa, Prabowo cukup menggadaikan harga diri untuk masuk kabinet!”
Ia berdiri, langkahnya membakar tanah pusaka.
Ken Arok:
“Dan Jokowi… wahai roh leluhur, jenis pemimpin apa ini? Anak, menantu, ipar dijadikan penguasa! Ini bukan negara, ini keluarga besar pakai seragam dinas!”
Ia mencabut keris gaib Mpu Gandring dari batu nisan. Bukan untuk membunuh, tapi untuk menuding sejarah.
Ken Arok:
“Dulu aku disebut pengkhianat, tapi setidaknya aku melahirkan kerajaan. Mereka? Melahirkan dinasti tanpa legitimasi, menjual mandat rakyat kepada ambisi pribadi.”
Dari kejauhan, arwah Mpu Gandring muncul, wajahnya penuh luka.
Mpu Gandring:
“Sudahlah, Ken. Mereka hanya meniru jejakmu—berebut kekuasaan lewat jebakan. Bedanya, kau pakai keris, mereka pakai UU dan Mahkamah.”
Ken Arok:
“Dan rakyat hanya bisa menonton seperti wayang, sambil diminta memilih antara dua tokoh yang saling sandera di panggung demokrasi!”
Ia memekik ke langit.
Ken Arok:
“Wahai arwah para raja dan ratu! Di bumi Nusantara sekarang, kekuasaan bukan soal visi, tapi soal siapa bisa kawin silang dengan oligarki!”
Kabut runtuh. Di kejauhan, terdengar berita tentang penunjukan anak Jokowi sebagai gubernur, dan Prabowo makin dekat jadi presiden boneka. Ken Arok tertawa getir.
Ken Arok:
“Kalau begitu, akulah murid. Mereka gurunya.”
Ia menancapkan keris ke tanah leluhur. Dari lubang tanah itu keluar asap hitam—bukan kutukan, tapi peringatan.
Ken Arok:
“Tak lama lagi, tanah ini akan muntah. Rakyat bisa diam, tapi tanah tak bisa dibohongi. Kalau penguasa tak takut sejarah, biarlah sejarah yang menakuti mereka.”
Dan malam pun turun, bersama dendam para leluhur yang belum selesai. Di angin yang berembus pelan, terdengar bisikan:
“Kau bisa menipu demokrasi, tapi tak bisa menipu nasib bangsa.”
—–
Ken Arok masih berdiri di atas tanah leluhur, keris Mpu Gandring tertancap, amarahnya membara. Tapi kali ini, dari balik kabut kolonialisme yang tak pernah benar-benar hilang, muncullah sosok tinggi berjas ekor panjang dan topi tinggi: Sir Thomas Stamford Raffles.
Dengan aksen British-nya yang menjengkelkan, ia membuka suara:
Sir Raffles:
“Ah, Ken Arok… Raja agung dari masa silam. Kau masih marah pada para pewaris negeri ini? Well, kau harus maklum. Mereka belajar dari yang terbaik… yaitu kami, para penjajah.”
Ken Arok:
“Penjajah? Kau cuma pencuri naskah kuno dan tukang comot candi. Kau yang bikin negeri ini lupa jati diri, dijadikan catatan kaki dalam buku pelajaranmu!”
Sir Raffles: (sambil tertawa kecil)
“Tenanglah, Your Highness. Setidaknya kami menjajah dengan gaya. Dengan etiket. Tak seperti para jenderal dan presidenmu sekarang—menjajah bangsanya sendiri pakai jas, dasi, dan janji manis demokrasi.”
Ken Arok:
“Kau menghina bangsaku?”
Sir Raffles:
“Oh, tidak. Aku hanya kagum. Lihat saja: Jokowi, sang pemimpin ‘sederhana’, mengubah istana jadi perusahaan keluarga. Anaknya jadi pemimpin, menantunya naik jabatan, iparnya pegang kunci. Bahkan dalam kerajaan Inggris pun, butuh ratusan tahun untuk sekian banyak nepotisme!”
Ken Arok:
“Dan Prabowo?”
Sir Raffles:
“Ah, pria itu lucu. Dulu dibenci, sekarang dicintai. Dulu digugat, kini diguyur pujian. Luar biasa! Di Inggris, kami sebut itu ‘shapeshifter’—bunglon politik kelas wahid.”
Ken Arok:
“Kalian membuatku muak. Kau dan mereka sama. Menganggap rakyat cuma ladang panen kekuasaan.”
Sir Raffles: (meneguk teh srilanka)
“Kami dulu mencuri rempahmu. Sekarang, mereka mencuri masa depanmu. Kami jujur sebagai penjajah. Mereka… berpura-pura sebagai penyelamat.”
Ken Arok:
“Kau ini lebih jahat dari yang kutahu.”
Sir Raffles:
“Kejahatan terbesar adalah membuatmu percaya bahwa kau merdeka, padahal tidak. Kau hanya pindah penjajah—dari Belanda ke Inggris dan kembali Belanda ke pengusaha tambang, jenderal pensiunan, dan tukang jual slogan.”
Ken Arok:
“Dan rakyat?”
Sir Raffles:
“Mereka terus diajari untuk bangga pada pencitraan. Mereka pikir mereka memilih, padahal sudah ditentukan sejak awal oleh algoritma dan amplop.”
Ken Arok: (dengan suara menggelegar)
“Kalau begitu, akan kubangkitkan keris ini! Biar sejarah diulang! Biar kutebas pengkhianatan dengan tangan sendiri!”
Sir Raffles: (tersenyum sinis)
“Terlambat, Your Majesty. Mereka sudah tak takut pada keris. Mereka cuma takut pada trending topic dan survey elektabilitas.”
Tiba-tiba, kabut berputar. Di layar langit terlihat baliho: Prabowo tersenyum pakai baju adat, Jokowi meresmikan jalan tol yang dinamai anaknya, dan rakyat antre sembako sambil selfie sembari tersenyum bangga dirinya dibuatkan patung.
Ken Arok tertunduk. Tangannya gemetar. Tapi bukan karena takut, melainkan karena malu.
Sir Raffles menepuk pundaknya.
“Kau harus tahu, Tuan Raja. Dulu, kami menjajah dengan kapal. Kini, mereka menjajah lewat aplikasi, proyek strategis, dan pencucian sejarah.”
Lalu Raffles berbalik dan pergi, meninggalkan tawa dingin di balik kabut.
Ken Arok menatap langit.
“Rakyatku… bangunlah. Aku berdosa dulu karena membunuh demi tahta. Tapi mereka sekarang membunuh nalar dan masa depanmu—tanpa darah, tanpa keris. Hanya dengan medsos dan keripik pisang.”
Cerpen Politik.