Pemimpin Harus Membumi, Bukan Sekadar Mendunia
CATATAN dari Cilandak Aendra MEDITA*)
Di zaman ketika citra lebih sering mendahului kerja nyata, kita melihat munculnya figur-figur yang sibuk memproyeksikan diri sebagai “pemimpin dunia”—padahal pijakan di dalam negerinya sendiri masih rapuh.
Mereka berbicara lantang soal geopolitik, demokrasi global, hingga inovasi internasional, tapi tak pernah benar-benar duduk mendengar suara rakyat di pasar, sawah, atau pinggir kali yang kotor. Padahal bangsa ini lahir dari keberanian pemimpin yang membumi.
Bung Karno menegaskan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Sejarah Indonesia bukan sejarah podium-podium luar negeri, tapi sejarah gotong royong, sejarah keringat rakyat yang dibasuh kesetiaan para pemimpinnya.
BUng Hatta, yang juga proklamator yang sederhana, justru menulis dengan tajam, “Kita tidak hendak menjadi bangsa yang besar di bibir saja, tapi kecil dalam perbuatan.”
Hari ini, terlalu banyak yang justru melakukan sebaliknya: menjadi besar di algoritma, tapi mengecil di mata rakyat yang lapar akan keadilan. Pemimpin sejati tak tergoda untuk mendunia sebelum menyelesaikan persoalan di halaman rumahnya sendiri.
Ia paham bahwa membangun desa, memperbaiki sekolah rusak, memberi makan balita, dan merawat harapan petani jauh lebih penting daripada menjadi headline di luar negeri yang bahkan rakyat sendiri tak peduli. (perlu tapi harus seimbang)
Apalah artinya pidato panjang di konferensi luar negeri jika jalan desa masih becek?
Apa gunanya bicara soal keberlanjutan global kalau sumur di kampung masih kering?
Rakyat tidak butuh pemimpin yang berpura-pura paham segalanya. Mereka hanya butuh satu hal: pemimpin yang hadir. Membumi bukan berarti tidak visioner.
Tapi justru, dari bumi yang ia pijak, visi itu tumbuh. Dari tanah yang ia kenal, harapan rakyat itu hidup. Hari ini, kita tak kekurangan pemimpi. Tapi kita kekurangan pemimpin yang rela berjalan kaki menjemput suara rakyat—bukan hanya suara netizen.
Kita butuh pemimpin yang kuat bukan karena konten, tapi karena konsistensi. Yang dikenal bukan karena followers, tapi karena kejujuran. Maka sebelum berhasrat menjadi presiden dunia maya, bereskan dulu pekerjaan sebagai pemimpin lokal. Jangan melompat terlalu tinggi hanya demi sorak-sorai layar kaca. Karena ujungnya, seperti kata pepatah lama:
“Siapa yang tak membumi, akan tumbang diterpa angin kenyataan.”
Dalam dunia politik komunikasi, ada sejumlah tokoh penting—baik dari ranah akademik maupun praktisi—yang punya pengaruh besar dalam membentuk teori dan praktik komunikasi politik modern. Sekadar mengutip pionir dalam studi komunikasi politik dan propaganda. Noam Chomsky yang juga Kritikus media dan politik. dalam buku “Manufacturing Consent” membongkar bagaimana media digunakan oleh elite politik untuk membentuk opini publik.
Politik Komunikasi bisa juga disampaikan bahwa Pemimpin Itu Harus Bisa “Mendengar”, Bukan Sekadar “bicara” Pemimpin zaman sekarang sering dianggap harus piawai berbicara. Padahal, mendengar adalah kemampuan yang jauh lebih langka dan berharga.
Bayangkan pemimpin seperti seorang maestro orkestra. Kalau hanya sibuk memimpin dengan suara keras, tanpa mendengar instrumen lain, maka orkestra itu akan kacau. Begitu juga negara. Jika pemimpin tidak mendengar rakyatnya, bagaimana mungkin bisa menyusun harmoni kebijakan?
Tapi pemimpin juga jangan sampai asyik dengan dunia maya, kamu lupa realita di lapangan. Pemimpin yang baik harus bisa hadir secara nyata, bukan hanya lewat layar, karena Pemimpin Harus Membumi, Bukan Sekadar Mendunia di dunia hiruk-pikuk tampil. Tabik
*) analis di Pusat Kajian Komunikai Politik Indonesia (PKKPI)
21 Mei 2025
.