Editorial JAKARTASATU: Jabatan Tak Boleh Jadi Ladang Eksperimen Kekuasaan
Ketua DPD RI, Sultan Bachtiar Najamudin melantik Irjen Pol. Mohammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal DPD RI bukan sekadar berita biasa. Hmmm
“Polisi aktif dilarang menduduki jabatan di luar kepolisian,” kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus.
Bahaya apa ini? Isyarat bahaya: ketika garis batas antara lembaga negara dan institusi penegak hukum mulai dikaburkan atas nama kekuasaan. Hukum dan etika jabatan di republik ini tidak lahir dari kekosongan. Ia dibangun di atas trauma masa lalu — ketika dwifungsi dijadikan alat dominasi, dan ketika jabatan publik direnggut bukan karena kepatutan, melainkan karena kedekatan.
Formappi menguraikan, pelantikan Irjen Iqbal menjadi Sekjen DPD RI menyalahi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR-DPR-DPD-DPRD atau UU MD3, pasalnya: UU Kepolisian Pasal 28 (3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. UU MD3 Pasal 414 (2) Sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada dasarnya berasal dari pegawai negeri sipil profesional yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Lucius menjelaskan bahwa hanya PNS yang bisa menjadi sekjen, tetapi kini ternyata polisi aktif yang menjadi Sekjen DPD RI. “Benar bikin kaget. Sekretaris Jenderal DPD diemban oleh seorang Irjen Polisi. Entah DPD dapat inspirasi dari mana,” ujarnya.
Menurut dia, pihak yang bersalah atas penunjukan polisi aktif sebagai Sekjen DPD RI adalah DPD itu sendiri. Soalnya, DPD-lah yang mengusulkan calon sekjen DPD. Selanjutnya, presiden memilih dan memutuskan berdasarkan nama yang dusulkan Pimpinan DPD. “Lalu masalah yang paling penting adalah terkait dengan etika,” ujarnya.
Kita patut bertanya: apakah jabatan Sekjen DPD RI kini sudah sedemikian terbuka bagi aparat aktif?
Apakah norma birokrasi dapat diterobos hanya demi melanggengkan kekuasaan simbolik? Sekjen DPD RI bukanlah tempat uji coba rangkap jabatan.
Ia adalah posisi strategis yang menuntut independensi, loyalitas tunggal pada konstitusi, dan kebebasan dari kepentingan institusional lain—terutama yang berada dalam ranah penegakan hukum. Publik bukan hanya menagih aturan, tapi juga marwah. Negara tak boleh diurus dengan nalar pragmatis. Harus ada garis api antara kepentingan dan integritas. Ketika seorang polisi aktif dilantik menjadi Sekjen lembaga legislatif, maka yang dilanggar bukan hanya prosedur, tapi juga akal sehat dan etika ketatanegaraan.
Lucius Karus dan Formappi menyuarakan peringatan keras—bahwa ini bisa menjadi preseden buruk yang merusak sistem. Dan kita sepakat: jika Irjen Iqbal tetap ingin menjabat Sekjen, maka mundurlah secara terhormat dari kepolisian. Tidak bisa dua kapal dikemudikan sekaligus dengan satu tangan.
Negara ini harus belajar berkata cukup. Cukup terhadap pelanggaran moral. Cukup terhadap tabrak aturan. Cukup terhadap eksperimen jabatan yang menggerus kepercayaan rakyat. Jabatan publik bukan hak istimewa. Ia adalah mandat. Dan mandat itu hanya sah, jika dijalankan dengan kehormatan dan kepatuhan.