Cerpen satire

“Gelar Pahlawan”

By Firman Tendry Masengi
(Praktisi Hukum/Aktivis ProDem)

Ruang sempit menggantung oncor temaram di ujung lorong sejarah, duduk tiga lelaki: Tan Malaka, Soekarno, dan Pak Harto. Tak ada mikrofon, tak ada pengeras suara, hanya gelas-gelas  kopi pahit dan sejarah yang belum kelar.

Tan Malaka, mengenakan jas tua dan celana lusuh kerna baru kembali dari Bayah. Rambutnya potongan tokoh-tokoh revolusioner kala itu. Belah tengah berjambul kaku hasil proses kimiawi dengan *Pomade* Tetap berwajah keras korban Rumusha yang sadar. Sorot matanya gelisah.

Tan Malaka:
“Kalian semua biadab. Aku tewas sebelum Indonesia mengakuiku. Dan aku ditembak oleh teman-temannya Harto. Soekarno bahkan  memprovokasi keadaan dengan membuat *testament*. Bahkan jasadku ditemukan oleh cucu penjajah bangsaku. Dari ingatan rakyat, bukan arsip negara. Tapi kalian… kau Karno dapat semua gelar, tugu, nama jalan. Aku? Cuma dijadikan teka-teki sejarah.”

Soekarno, menyandarkan diri di kursi, tersenyum setengah sinis.
Soekarno:
“Bung Tan… kita ini sama-sama pengkhayal, tapi aku yang lebih beruntung. Aku punya panggung. Kau hanya punya tulisan dan pelarian.”

Tan Malaka:
“Itu karena aku tak tunduk pada partai, tak tunduk pada Jepang, tak tunduk pada Belanda. Aku menolak semua kompromi. Bahkan aku menolakmu waktu kau mulai bicara revolusi sambil negosiasi.”

Pak Harto:
“Bung Tan, mereka hingga hari  menolak menjadikan aku Pahlawan. Mereka lebih suka ngasih ke keluarganya sendiri dari istri hingga anak mantu. Aku yo ora pate’en. Mending aku ngopi bareng daripada kalian, tah. Lha aku ini bukan orator, bukan pengelana, tapi praktisi. Stabilitas lebih penting daripada heroisme.”

Tan Malaka:
“Stabilitasmu dibangun di atas pembungkaman. Kau musnahkan sisa ideologi yang kusemai. Kau bunuh nama-nama kiri tanpa bedakan antara pengkhianat dan patriot.”

Pak Harto:
“Yo piye, Bung Tan. Namamu itu sudah keburu dicap merah. Kau dan kawan-kawan berada di Simpang Kiri Jalan. Yo ditabrak teman÷temanku.  Mestinya kau daripada paham. KNIL itu pembenci kiri. Zaman Orde Baru, kiri dan merah itu dosa. Walau isinya emas, tetap saja ku bilang emas palsu. Ya mirip ijazah itu.”

Soekarno:
“Tapi aku tetap menganggap Tan Malaka sebagai bagian dari fondasi bangsa. Hanya saja, Bung Tan ini terlalu idealis, terlalu cepat mati sebelum sempat populer.”

Tan Malaka:
“Populer? Kalian cari gelar. Aku cari kemerdekaan sejati. Aku menulis *Naar de Republiek* hingga aku hidup dari *Penjara ke penjara*, bukan memoar pribadi. Aku tinggalkan ide, bukan istana.”

Pak Harto:
“Dan makanya kau baru dikasih gelar Pahlawan Nasional tahun 1963, setelah mati. Gelar yang terlambat. Dikasih pun setengah hati.”

Tan Malaka:
“Aku tidak butuh gelar. Tapi rakyat butuh kejujuran. Jangan ajari mereka sejarah potong-potong. Jangan ajari mereka mengenal bangsanya hanya dari monumen dan mars sekolah.”

Soekarno:
“Kau benar, Tan. Tapi sejarah ditulis oleh mereka yang pegang stempel. Aku dulu pegang mikrofon, Harto pegang tentara, kau… pegang pena dan peluru sendirian.”

Pak Harto:
“Dan sekarang? Negara bagi-bagi gelar lagi. Ada yang disebut pahlawan, padahal dulu ngaku-ngaku disekolahkan Belanda. Ada yang tak punya bukti ijazah tapi pegang kursi kekuasaan.”

Tan Malaka:
“Itulah kenapa aku tetap gelisah. Karena bangsa ini belum selesai merdeka utuh. Rakyat belum bebas berpikir. Terlalu sibuk mengidolakan, lupa mengkritisi.”

Soekarno:
“Jadi kau masih ingin gelar itu?”

Tan Malaka:
“Tidak. Aku ingin rakyat tahu siapa aku. Bukan karena gelar, tapi karena ideku. Karena aku mati untuk republik yang berpikir.”

Pak Harto: tersenyum tipis seperti gelarnya. The Smiling General.

“Yo wis. Mungkin nanti giliran mereka yang hidup sekarang belajar mikir. Tapi jangan terlalu berharap, Bung Tan. Sekarang, lebih penting viral daripada berpikir.”

Tan Malaka:
“Dan lebih gampang ngangkat keluarga ke jabatan, daripada mengangkat martabat rakyat.”

Soekarno: tertawa lirih
“Kita bertiga mungkin gagal.
Kita? Kompak Tan & Soeharto memotong.
“Kita?
Kau aja keuleus… Soekarno senyum sinis…

Meski banyak salah dan dosa  kita masih waras. Yang berkuasa sekarang? Aku bahkan tak tahu apa yang mereka baca selain polling, survey &  approval rating.”

Pak Harto:
“Daripada gelar pahlawan untukku  diberi oleh mantan menantu yo aku ra sudi. Mereka sok  ideologis, mereka lebih suka mikir logistik pilpres ngerampok BUMN apa?”

Tan Malaka:
“Sudahlah. Mungkin nanti… saat mereka tak lagi menanak nasi, listrik padam dan harga 5 gb tak terjangkau mereka menumbangkan rejim”

Oncor di ruangan  itu makin redup. Mereka bertiga menyesap kopi masing-masing. Di dinding tertulis kata-kata Tan Malaka: “Setia kepada kebenaran, hingga bumi berhenti.”
—–