Indonesia Menggugat Pengadilan

Cerpen Satire

Penulis:
Firman Tendry Masengi
(Praktisi Hukum/Aktivis ProDem)

Gedung Pengadilan Negeri yang dijaga ketat pengamanan negara mulai mengeras, siang itu seperti kembali ke zaman kolonial. Di tengah ruang sidang yang dingin dan kehilangan wibawa, berdiri sosok tua dengan jas usang penuh semangat republik. Dialah Mr. Sartono—roh sejarah yang kembali bangkit.

Mr. Sartono, bukan tokoh fiktif. Dialah pengacara muda yang dulu berdiri gagah membela Soekarno di Landraad Bandung pada tahun 1930, ketika Belanda ingin membungkam Bung Besar melalui dakwaan makar. Sartono-lah yang meminta Pengadilan memberikan waktu selebarnya bagi Soekarno membacakan  nota pembelaan Indonesia Menggugat, Pledoi monumental yang tak pernah jadi bahan ajar di Fakultas Hukum.

Dan kini, 95 tahun kemudian, ia berdiri kembali—membela seorang kader partai, seorang politisi yang dicap mengganggu tatanan politik keluarga penguasa: Hasto Kristiyanto.

Di ruang sidang yang murung itu, Sartono menggenggam naskah pledoinya.

Mr. Sartono:
“Yang Mulia Majelis Hakim… saya berdiri di sini bukan karena saya mengagumi Hasto. Tapi karena saya takut, bahwa apa yang terjadi pada Soekarno di tahun 1930… sedang terulang hari ini. Dulu Belanda menuduh Bung Karno makar karena berani bersuara. Sekarang, Hasto dituduh ikut menyembunyikan buronan karena terlalu banyak bicara.”

Ia menatap lurus ke wajah-wajah jaksa yang lebih mirip algojo politik ketimbang penegak hukum.

Mr. Sartono:
“Kala itu, di Bandung, saya katakan bahwa pengadilan bukan tempat membunuh pikiran. Dan hari ini, saya ulangi: hukum tidak boleh jadi panggung untuk membunuh integritas seseorang hanya karena dia bukan bagian dari rombongan sirkus  penguasa.”

Mr. Sastromulyono, ahli hukum kerakyatan, ikut berdiri. Dengan suara lirih tapi tajam, ia berkata:

Mr. Sastromulyono:
“Hasto bukan malaikat. Tapi apakah negara ini kini hanya menghukum yang tidak tunduk, dan membebaskan yang berkuasa? Harun Masiku memang buron. Tapi siapa yang paling mungkin menyembunyikan: seorang Sekjen partai, atau kekuatan yang bisa menutup CCTV dan menghentikan pencarian selama bertahun-tahun?”

Pengunjung sidang mulai resah. Beberapa pengacara muda mencatat dengan antusias. Sidang berubah jadi kelas sejarah.

Mr. Sartono lalu membuka map tua yang di dalamnya terselip salinan asli Indonesia Menggugat.

Mr. Sartono:
“Dulu Soekarno menulis: ‘Kami menolak kolonialisme, kami menolak hukum dijadikan alat menindas rakyat.’ Hari ini, kalimat itu harus kembali hidup. Karena penindasan tak lagi datang dari kolonialisme, tapi dari sesama anak bangsa yang memutihkan wajah di layar TV, tapi menghitamkan hukum di ruang gelap.”

Hakim:
“Tuan Sartono, ini bukan sidang sejarah.”

Mr. Sartono:
“Tapi sejarah sedang disidangkan, Yang Mulia. Dan saya bersumpah: jika negeri ini tidak belajar dari masa lalu, maka pengadilan seperti ini akan terus ada. Hari ini Hasto, besok siapa? Rakyat biasa? Jurnalis? Mahasiswa? Semua yang tidak ikut barisan?”

Suasana hening. Pledoi ditutup. Hasto menunduk, matanya basah. Bukan karena takut, tapi karena sadar: ia sedang ditolong oleh sejarah itu sendiri.

Dan malam itu, di luar gedung sidang, seseorang menulis ulang Indonesia Menggugat, dengan satu bab tambahan:

“Keadilan Baru Akan Datang Jika Kita Tidak Lagi Takut Pada Kekuasaan.”