JAKARTASATU.COM– Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Prof. Amien Rais, dalam pertemuan dengan para purnawirawan TNI di Yogyakarta, Selasa (20/5/2025), melontarkan kritik keras terhadap jalannya pemerintahan Presiden Joko Widodo. Amien Rais menyebut sistem demokrasi di Indonesia saat ini hanya sekadar formalitas, sementara esensinya telah beralih menjadi “otoritarianisme atau otokratisme” yang berujung pada gaya kepemimpinan seperti “raja Jawa gadungan” dan nepotisme.
Dalam sambutannya, Amien Rais menyampaikan terima kasih atas kehormatan bergabung dengan purnawirawan TNI yang disebutnya terus mengabdi bersama rakyat untuk “memperbaiki hal-hal yang bengkok, hal-hal yang tidak benar.”
“Secara format, kita memang sudah menerima demokrasi. Ada pemilu tiap tahun, ada lembaga DPR, ada lembaga DPD. Keduanya kalau disatukan jadi MPR. Kemudian pemilihan bupati, gubernur dan lain-lain. One man one vote… sekelibatan seperti demokrasi. Tetapi isinya, kalau dikupas… yang ada itu adalah sebuah otoritarianisme atau otokratisme,” tegas Amien Rais dikutip akun YouTube-nya.
Ia menuduh Presiden Jokowi telah “mengubrak-abrik aturan main sebuah demokrasi” dengan kekuatan finansial dan pengerahan partai politik tertentu, serta menciptakan “pro-Jokowi yang dibiayai segala macam” untuk mendukung keinginan pribadinya yang bermuara pada pembangunan nepotisme.
“Berlagak lakunya itu seperti raja Jawa gadungan,” kata Amien, mengutip contoh pernikahan putri Presiden Jokowi di Medan yang disebutnya digelar sangat mewah dengan memboyong kereta kencana dari Keraton Solo.
“Ini bukan presiden republik ini. Ini bergaya raja Jawa… yang tidak ‘pokro’,” lanjut Amien, mengacu pada istilah Jawa yang berarti tidak berkelas atau tidak pantas.
Meskipun mengakui bahwa kenaikan karir politik Presiden Jokowi dari wali kota hingga presiden dua periode sudah terjadi, Amien Rais menyerukan pentingnya tindakan nyata. Merujuk pada “delapan poin” yang sering dibahas di media sosial, Amien menilai poin-poin tersebut “masuk akal, ideal, itu yang kita butuhkan tetapi memerlukan perjuangan.”
Mengutip adagium politik “nobody will relinquish his or her power voluntarily” (tidak ada penguasa yang melepaskan kekuasaannya secara sukarela), Amien Rais menilai kasus Jokowi dan keluarganya sebagai “kasus orang yang sakit jiwa.” Ia bahkan menyebut Presiden Jokowi sebagai “seorang penipu profesional dan patologis,” yang menurutnya akan “meriang badannya” jika seminggu tidak berbohong.
Amien Rais menegaskan bahwa pernyataan ini sudah sering ia sampaikan tanpa ada konsekuensi.
Dari Yogyakarta yang pernah menjadi ibu kota RI, Amien Rais mengusulkan segera dibentuk panitia untuk membentuk semacam “Majelis Rakyat Indonesia (MRI)”. Tujuannya adalah untuk membuat “scale of priority” atau skala prioritas tindakan yang bisa dikerjakan.
Prioritas utama yang ia usulkan adalah merevisi kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Amien menegaskan bahwa konstitusi bukanlah kitab suci yang tidak boleh diubah. Ia menyebut UUD 1945 yang diamandemen saat ia menjabat Ketua MPR sudah dilakukan sebaik-baiknya, namun revisi kapan pun mungkin dilakukan, sebagaimana praktik amandemen berulang kali di Amerika.
Amien Rais juga menyoroti kondisi rakyat yang “kembang kempis memenuhi kebutuhan pokok hidupnya,” dengan pengangguran dan kemiskinan yang merajalela. Ia mengklaim banyak korporasi besar bangkrut dan meninggalkan Indonesia, serta investor asing beralih ke negara lain karena gaya kepemimpinan saat ini.
Untuk menghindari kritik yang hanya sebatas letupan, Amien mengusulkan agar panitia yang dibentuk melibatkan purnawirawan, pemuda, mahasiswa, dan partai-partai yang masih memegang teguh Pancasila. Ia berharap hal ini dapat menjadi “national movement” atau bahkan “national explosion” jika diperlukan, karena kondisi bangsa yang “makin lama makin melat, makin parat, makin melat.”
Mengakhiri pernyataannya, Amien Rais menekankan paradoks Indonesia sebagai negara kaya raya dengan segala sumber daya alam, namun rakyatnya tidak mendapatkan apa-apa karena kekayaan dibawa ke luar negeri dengan sepengetahuan pemerintah. Ia menutup dengan seruan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, karena stabilitas bangsa dan negara terwujud jika keadilan ditegakkan.
“Jokowi, adili Jokowi, masukkan adili Jokowi!” seru Amien Rais di akhir pidatonya, disambut tepuk tangan hadirin. (RIS)