JAKARTASATU.COM– Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) dalam UBN Podcast-nya menyoroti kondisi Indonesia yang dinilainya menghadapi tantangan besar dalam persatuan. Ia memandang bahwa meskipun telah ada komitmen terhadap persatuan kebangsaan, hal tersebut masih sebatas retorika dan belum terwujud dalam tindakan nyata.
UBN menyatakan bahwa slogan-slogan seperti “Aku NKRI” dan “Aku Pancasila” justru sering dijadikan alat politik untuk memecah belah, bukan sebagai instrumen pemersatu. Ia mengkritik pembungkaman suara rakyat yang kritis, yang dianggap lawan dan dijauhkan dari ruang partisipasi, padahal partisipasi rakyat adalah kunci pembangunan bangsa.
“Di sinilah nilai luhur sila keempat Pancasila harus kembali ditegakkan. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, bukan kepentingan sempit,” ujar UBN dikutip akun YouTube-nya, Selasa.
Ia menekankan bahwa persatuan sejati hanya akan tumbuh dari kebijakan nyata, ruang partisipasi yang terbuka, dan langkah-langkah yang menyentuh kehidupan rakyat. Menurutnya, respons pemerintah terhadap suara rakyat adalah ujian sejati atas komitmen pada persatuan.
UBN mengidentifikasi enam tantangan besar yang dihadapi Indonesia, yang tidak bisa diselesaikan dengan narasi kosong:
- Kesejahteraan yang Belum Merata: UBN membandingkan pendapatan per kapita Indonesia ($4.500 USD) yang jauh tertinggal dari Malaysia ($12.000 USD) dan Singapura ($20.000 USD). Ia menyebutkan bahwa potensi besar Indonesia belum sampai ke rakyat, menyebabkan kemiskinan dan pengangguran yang mengakar.
- Kemiskinan Struktural: Mengacu pada standar Bank Dunia, UBN menyatakan bahwa 60% penduduk Indonesia termasuk miskin. Ia menilai ini bukan soal malas atau tak mampu, melainkan soal struktur ekonomi dan kebijakan yang belum adil.
- Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah: UBN menyoroti ketimpangan pembangunan yang mencolok antara Jawa yang melaju cepat dengan daerah lain seperti NTT dan Papua yang tertinggal jauh, menegaskan bahwa tanpa keadilan infrastruktur, tidak mungkin ada keadilan ekonomi.
- Penegakan Hukum yang Lemah dan Selektif: Ia mengkritik banyaknya regulasi yang lebih berpihak pada pemodal dan kekuasaan daripada rakyat, sehingga hukum kehilangan wibawa jika dijadikan alat politik.
- Minimnya Keteladanan Elit: UBN mengecam ketimpangan moral di mana para elit hidup dalam kemewahan sementara rakyat berhemat demi hidup, yang melukai hati rakyat.
- Budaya Korupsi yang Merajalela: Ia menyebut korupsi telah menjadi sistem yang melibatkan banyak pemangku kekuasaan dari hulu ke hilir, menjadikannya krisis nasional.
Meski demikian, UBN melihat adanya “cahaya di ujung lorong” dengan pemerintahan Prabowo Subianto yang menunjukkan ikhtiar untuk mengubah arah. Ia menyoroti strategi efisiensi, pemangkasan proyek elitis, dan pengalihan anggaran untuk program pro-rakyat. Menurutnya, langkah-langkah ini memberi harapan sebagai “langkah taktis melawan korupsi sistemik yang selama ini membajak masa depan bangsa,” bukan sekadar rebranding politik.
Dengan tingkat kepuasan rakyat yang diklaim mencapai 80%, UBN meyakini kepercayaan mulai tumbuh. Namun, ia mengingatkan bahwa kepercayaan adalah amanah yang harus dijaga dengan konsistensi dan keberanian moral. “Harapan rakyat bukan pada janji, tapi pada program nyata yang menyentuh kebutuhan hidup mereka,” tegasnya.
UBN menyimpulkan bahwa persatuan bangsa dibangun dari kebijakan yang menyejahterakan, dari pemimpin yang memberi teladan, dan dari rakyat yang diberi ruang untuk berperan. “Maka mari kita jaga harapan ini. Karena bangsa yang bersatu bukanlah bangsa yang seragam, tapi bangsa yang saling memahami, saling melibatkan dan bersama-sama membangun masa depan,” tutup UBN. (RIS)