Yayasan 98 Peduli: Sekolah Rakyat Harus Jadi Solusi Berkeadilan, Bukan Proyek yang Semakin Memiskinkan
JAKARTASATU.COM— Rencana pemerintah membangun Sekolah Rakyat sebagai bagian dari pemenuhan hak pendidikan bagi anak-anak miskin dan terlantar menuai tanggapan kritis dari berbagai pihak. Ketua Yayasan 98 Peduli, Detti Artsanti, menyambut baik niat tersebut namun menegaskan bahwa kebijakan ini harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan berpijak pada keadilan sosial yang sesungguhnya.
“Pasal 34 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Tapi pembangunan Sekolah Rakyat jangan hanya jadi simbol kehadiran negara — jangan sampai justru memperdalam kemiskinan struktural,” ujar Detti dalam keterangannya kepada media, Jum’at 23/5/2025.
Yayasan 98 Peduli mempertanyakan urgensi membangun Sekolah Rakyat secara fisik di tengah masih banyaknya sekolah yang rusak, kekurangan guru, minim alat peraga belajar, dan tidak memiliki sistem perlindungan anak yang memadai. Menurut Detti, anggaran untuk pembangunan seharusnya difokuskan pada peningkatan mutu dan dukungan struktural, seperti pelatihan guru, penyediaan psikolog pendidikan, transportasi bagi anak di daerah terpencil, serta penguatan sistem pengaduan kekerasan di sekolah.
“Lebih penting menjadikan sekolah yang ada sebagai tempat belajar yang aman dan bermakna, daripada membangun gedung baru yang berisiko memunculkan stigma,” tandas Detti.
Detti juga menyampaikan kekhawatiran bahwa pembangunan Sekolah Rakyat secara terpisah dapat melanggengkan stigma terhadap anak-anak miskin.
“Jika Sekolah Rakyat hanya diisi oleh anak-anak dari keluarga tidak mampu, maka yang terjadi adalah segregasi pendidikan. Ini bukan solusi, tapi bentuk baru dari diskriminasi yang memperdalam luka sosial,” jelasnya.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa jika proyek ini tidak dilakukan dengan perencanaan matang dan pengawasan ketat, maka risikonya sangat besar.
“Bukan hanya gagal mengatasi ketimpangan pendidikan, tapi juga menghabiskan anggaran negara tanpa menyelesaikan masalah akar, bahkan bisa menciptakan ketergantungan baru yang semakin memiskinkan kelompok marjinal,” ungkap Detti.
Yayasan 98 Peduli juga menyoroti kasus-kasus kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan sekolah, yang pelakunya seringkali berasal dari pihak internal sekolah — guru, staf, atau bahkan kepala sekolah.
“Jika Sekolah Rakyat ingin menjadi jawaban, maka ia harus dibangun sebagai ruang aman dan adil untuk semua anak, bukan hanya sebagai proyek fisik,” tegas Detti.
Sebagai organisasi yang konsisten dalam isu sosial dan hak anak, Yayasan 98 Peduli menyatakan siap menjadi mitra kritis sekaligus kolaboratif bagi pemerintah.
“Kami tidak ingin anak-anak Indonesia dibebani lagi oleh sistem yang tak pernah berpihak pada mereka sejak awal. Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan memperpanjang rantai kemiskinan,” tutup Detti. (Yoss)