
Kasus Aneh Pencabutan Opini Detikcom: Jurnalisme Baru Di Antara “Clickbait” dan “Fearbait”?
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
“Kebenaran, seperti singkong rebus, sering tak enak di awal, tapi bikin kenyang pikiran. Sayangnya, kini kita lebih suka keripik algoritma: renyah, cepat viral, dan gampang ditelan meski tak ada gizinya.”
Hari ini, menulis opini di Indonesia mungkin setara dengan memelihara ayam di tengah kandang harimau -—ia bisa berkokok keras, tapi jangan harap bisa bertelur dengan tenang. Apalagi jika ayam itu menyoal jenderal yang mengintip jabatan sipil. Satu suara kokok saja bisa dianggap makar, apalagi jika terdengar sampai ruang sidang kementerian atau pojok senyap WhatsApp group alumni tentara.
Mungkin begitulah yang dialami oleh seorang penulis opini di Detikcom, yang tak perlu kita sebut namanya karena negara ini sudah cukup mahir menyamarkan suara dengan eufemisme, “permintaan pribadi”, “demi keselamatan”, “atas saran redaksi”, dan yang paling baru, “karena kami patuh pada prosedur yang tak tertulis.”
Akhirnya sebuah opini di Detikcom yang dianggap membahayakan keselamatan penulisnya dihapus. Tapi tidak dihapus dengan cara yang biasa-biasa saja. Melainkan dihapus dengan catatan yang ternyata justru menjadikannya viral. Nampaknya, menghapus tulisan kini bukan hanya soal tekanan semata. Ini soal brand management. Bayangkan algoritma seperti seekor paus lapar -—ia hanya memakan yang ramai, viral, dan tak repotkan pemilik server. Maka dari itu, menghapus opini bukan cuma bentuk penyesuaian terhadap tekanan, tapi juga cara menyelam sambil minum air viral.
Bisa jadi inilah yang pernah disebut oleh Profesor Habermas, dalam diskusi publiknya yang legendaris: public sphere yang makin sempit karena logika pasar dan kekuasaan, bukan karena ketidakadaan suara. Suara ada, tapi diminta bicara pelan-pelan. Atau dalam kasus tertentu: dibisukan dengan rem motor dan helm full face.
