"Redaksi Detikcom merevisi klarifikasi alasan menghapus tulisan opini ini atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers. Sedangkan mengenai alasan keselamatan, itu berdasarkan penuturan penulis opini sendiri,” tulis artikel tersebut dikutip, Jumat, 23 Mei 2025.
"Redaksi Detikcom merevisi klarifikasi alasan menghapus tulisan opini ini atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers. Sedangkan mengenai alasan keselamatan, itu berdasarkan penuturan penulis opini sendiri,” tulis artikel tersebut dikutip, Jumat, 23 Mei 2025.

Kasus Aneh Pencabutan Opini Detikcom: Jurnalisme Baru Di Antara “Clickbait” dan “Fearbait”?

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
“Kebenaran, seperti singkong rebus, sering tak enak di awal, tapi bikin kenyang pikiran. Sayangnya, kini kita lebih suka keripik algoritma: renyah, cepat viral, dan gampang ditelan meski tak ada gizinya.”
Hari ini, menulis opini di Indonesia mungkin setara dengan memelihara ayam di tengah kandang harimau -—ia bisa berkokok keras, tapi jangan harap bisa bertelur dengan tenang. Apalagi jika ayam itu menyoal jenderal yang mengintip jabatan sipil. Satu suara kokok saja bisa dianggap makar, apalagi jika terdengar sampai ruang sidang kementerian atau pojok senyap WhatsApp group alumni tentara.
Mungkin begitulah yang dialami oleh seorang penulis opini di Detikcom, yang tak perlu kita sebut namanya karena negara ini sudah cukup mahir menyamarkan suara dengan eufemisme, “permintaan pribadi”, “demi keselamatan”, “atas saran redaksi”, dan yang paling baru, “karena kami patuh pada prosedur yang tak tertulis.”
Akhirnya sebuah opini di Detikcom yang dianggap membahayakan keselamatan penulisnya dihapus. Tapi tidak dihapus dengan cara yang biasa-biasa saja. Melainkan dihapus dengan catatan yang ternyata justru menjadikannya viral. Nampaknya, menghapus tulisan kini bukan hanya soal tekanan semata. Ini soal brand management. Bayangkan algoritma seperti seekor paus lapar -—ia hanya memakan yang ramai, viral, dan tak repotkan pemilik server. Maka dari itu, menghapus opini bukan cuma bentuk penyesuaian terhadap tekanan, tapi juga cara menyelam sambil minum air viral.
Bisa jadi inilah yang pernah disebut oleh Profesor Habermas, dalam diskusi publiknya yang legendaris: public sphere yang makin sempit karena logika pasar dan kekuasaan, bukan karena ketidakadaan suara. Suara ada, tapi diminta bicara pelan-pelan. Atau dalam kasus tertentu: dibisukan dengan rem motor dan helm full face.
Redaksi Detikcom awalnya menyatakan menghapus tulisan opini berdasarkan rekomendasi Dewan Pers dan demi keselamatan penulis.
Redaksi Detikcom awalnya menyatakan menghapus tulisan opini berdasarkan rekomendasi Dewan Pers dan demi keselamatan penulis.
Jurnalisme Baru: Antara “Clickbait” dan “Fearbait”
Foucault pernah mengatakan, “Kekuasaan bekerja bukan hanya melalui larangan, tetapi juga melalui pengetahuan dan produksi wacana.” Tapi kini, kekuasaan cukup bekerja lewat metadata. Anda bisa menulis tentang kucing kawin atau makanan Korea yang bikin glowing, tapi jangan sekali-kali bertanya “Mengapa jenderal duduk di kursi ASN?” -—itu bukan wacana, itu ancaman.
Media pun gamang. Apakah harus setia pada kebenaran, atau selamat demi KPI? Apakah menyiarkan opini kritis atau bermain aman dengan berita yang SEO friendly dan tidak menimbulkan keresahan di kalangan aparat?
Anehnya seperti ada yang paradoksal dalam pernyataan Detik, bahwa artikel dihapus atas permintaan penulis demi keselamatannya. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika penulis merasa terancam karena artikelnya, apakah menghapus artikel menyelesaikan masalah atau justru memperkuat pola ancaman?
Seperti kata Slavoj Žižek, “Kita hidup di era ketika lebih mudah membayangkan akhir dunia daripada akhir dominasi kekuasaan represif.” Kabarnya menurut pengakuan penulis, ia sudah dua kali diserempet. Mungkin yang berikutnya bukan diserempet, tapi ditabrak langsung secara prosedural.
Menghapus Tulisan, Menyimpan Luka: Siapa yang Benar-Benar Dilindungi?
Seorang profesor komunikasi politik dari Universitas Leiden pernah berkata, “Opini yang tidak menimbulkan kegelisahan, bukanlah opini -—itu brosur.” Maka, saat Detik menghapus opini itu, kita tak lagi bicara soal perlindungan penulis. Kita bicara soal detoksifikasi dari risiko -—semacam vaksin untuk menghindari teguran, bukan untuk menyembuhkan.
Detik bilang, “Ini bukan tekanan.” Tapi rakyat bilang, “Kami bisa membaca yang tak tertulis.”
Plato pernah mengungkapkan bahwa ia percaya demokrasi bisa berbahaya karena memberi ruang pada massa yang gampang dipengaruhi. Tapi lebih berbahaya lagi adalah negara yang takut pada opini, dan lebih percaya pada “motor” daripada “metafora”.
Pun Presiden Prabowo -—yang juga seorang jenderal, pernah mengatakan bahwa kritik adalah vitamin bagi demokrasi. Tapi tampaknya ada kekeliruan farmakologis, vitaminnya kini dianggap racun, dan lebih baik dihindari demi peace of mind algoritma dan klik bersponsor.
Jadi, Apa yang Harus Kita Lakukan? Kita bisa diam. Kita bisa pindah nulis resep masakan atau review drama Korea. Tapi jangan salahkan sejarah jika kelak kita membaca buku sejarah Indonesia edisi baru berjudul: “Negeri yang Opininya Dihapus, Tapi Hoaksnya Menetap” Atau, seperti kata George Orwell, “Freedom is the freedom to say that two plus two make four. If that is granted, all else follows.”
Sayangnya, hari ini, dua plus dua harus dikonsultasikan dulu ke Dewan Pers, disetujui sponsor, dan jangan sampai mengusik jenderal yang sedang mendapatkan promosi kursi ASN. Selamat membaca, tapi jangan lupa tengok kanan-kiri. Terkadang opini bisa menabrakmu dari belakang. Tabik.