Editorial: Mencari Jejak Ibnu Taimiyah dalam Politik Indonesia
DI tengah riuh rendah politik Indonesia pasca-pemilu, kita kerap melihat kekuasaan lebih sebagai alat perebutan kepentingan, bukan sebagai amanah untuk menegakkan keadilan. Dalam konteks inilah, pemikiran Ibnu Taimiyah—ulama besar abad ke-13—menjadi relevan untuk ditimbang kembali. Ibnu Taimiyah lahir pada zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa kekuasaan dan agama bukan dua ranah yang terpisah. “Agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan,” katanya.
Namun, kekuasaan yang ia maksud bukanlah yang dibangun atas nama agama semata, melainkan kekuasaan yang menjalankan prinsip-prinsip keadilan. Ia bahkan berani mengatakan bahwa “Allah akan menolong negara yang adil walaupun kafir, dan membinasakan negara yang zalim walaupun Muslim.”
Sebuah pernyataan yang menusuk, terutama bagi bangsa yang terjebak pada simbolisme keislaman, tapi miskin dalam praksis keadilan sosial. Ibnu Taimiyah mendapat reputasi yang luar biasa dikalangan ulama ketika itu, ia dikenal sebagai orang yang berwawasan luas,Ia banyak disebut sebagai pemikir Islam dan tokoh politik yang kontroversial karena sangat teguh pendiriannya, terutama pada syariat Islam. Sebagai pengikut Mazhab Hambali, pandangan Ibnu Taimiyah sering bersebrangan dengan para penguasa pada masanya.
Jika Indonesia hari ini bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Kita mengadopsi prinsip ketuhanan dalam konstitusi, namun sering kali lupa bahwa nilai-nilai ilahiah harus tercermin dalam tindakan politik. Jika keadilan adalah inti dari syariat, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah, maka keadilan harus menjadi pilar dalam setiap kebijakan publik: dari distribusi sumber daya, akses pendidikan, perlindungan hukum, hingga pemberantasan korupsi.
Sayangnya, politik Indonesia kini masih lebih sering menjadi medan transaksi kuasa, bukan medan perjuangan moral. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Korupsi menjadi kebiasaan, bukan lagi kejahatan yang memalukan.
Elit politik bicara tentang rakyat, tapi jarang benar-benar hidup bersama rakyat. Ibnu Taimiyah juga menekankan amar ma’ruf nahi munkar sebagai tugas negara. Namun apakah negara hari ini benar-benar melindungi kebenaran dan menindak kebatilan? Atau justru membungkam kritik atas nama stabilitas?
Lebih jauh, Ibnu Taimiyah mengajarkan bahwa ketaatan kepada pemimpin adalah bersyarat—bukan membabi buta. Ketika penguasa menyimpang dari prinsip keadilan dan kebenaran, rakyat punya hak untuk menegur, bahkan mengganti pemimpin—asal tidak menimbulkan kerusakan lebih besar.
Sebuah pemikiran progresif dari abad pertengahan yang patut direnungkan di era demokrasi elektoral ini. Kita butuh narasi politik baru—politik yang tidak sekadar mencari kuasa, tapi mengabdi pada keadilan. Kita butuh pemimpin yang bukan hanya religius secara simbolik, tapi benar-benar amanah dalam menjalankan mandat publik. Jika Ibnu Taimiyah hidup di Indonesia hari ini, mungkin ia akan berkata:
“Negara yang kuat bukanlah yang banyak berdoa, tapi yang adil terhadap semua.”
Apa Anda setuju? TABIK..!!! (ed/jaksat-ata)