JAKARTASATU.COM– Pemerhati pemilu, Titi Anggraini, melalui akun X pribadinya, menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilu proporsional terbuka di Indonesia. Ia mengusulkan pengakhiran tarik-menarik antara sistem proporsional tertutup dan terbuka, serta mempertimbangkan sistem campuran (mixed system) sebagai jalan tengah yang lebih ideal.
Menurut Titi, sistem campuran akan mampu menjaga keseimbangan antara artikulasi kedaulatan rakyat dan institusionalisasi partai politik sebagai peserta pemilu. “Sistem campuran lebih bisa menjaga keseimbangan antara artikulasi kedaulatan rakyat dan institusionalisasi partai sebagai peserta pemilu,” tulis Titi, Ahad (25/05/2025).
Lebih lanjut, Titi juga menyoroti padatnya jadwal pemilu di Indonesia yang menyelenggarakan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah dalam tahun yang sama. Ia mengusulkan agar Indonesia mengadopsi model pemilu sela (midterm election) ala Filipina untuk memberikan mekanisme koreksi terhadap kinerja pejabat politik terpilih.
“Kita butuh pemilu sela ala Filipina ini. Bukan borongan pemilu dan pilkada dalam tahun yg sama -yang membuat tidak ada mekanisme koreksi apapun atas kinerja pejabat politik terpilih. Pejabat jeblok, masa depan suram 5 tahun tanpa ada ruang evaluasi bagi pemilih,” tegasnya.
Untuk itu, Titi menganggap relevan usulan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dengan jeda 2 hingga 2,5 tahun. Pemilu serentak nasional akan memilih presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi/kabupaten/kota. Sementara itu, pemilu serentak lokal akan memilih kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) dan DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Usulan Titi boleh jadimencerminkan keresahan akan efektivitas sistem pemilu saat ini dalam menghasilkan representasi yang berkualitas dan akuntabel, serta membuka ruang untuk perbaikan mekanisme demokrasi di Indonesia. (RIS)