Sawit disalah satu perkebunan terbesar/ata-jaksat

Oleh Memet Hakim, Pengamat Perkebunan, Dosen LB Fak. Pertanian Unpad

Peraturan Presisden no 16-2025 yang ditetapkan tanggal 19 Maret 2025, setelah dipelajari ternyata tidak ada perannya untuk mendukung Ketahanan Pangan & Ketahan Energi yang dicadangkan oleh Presiden Prabowo, bahkan dapat dikatankan justru menjegal upaya peningkatan Ketahanan Pangan & Energi ini.  Kebijakan “kontra produktif” kedua setelah adanya kebijakan mengenjot Hilirisasi, tetapi dengan menaikkan Tarif Pungutan Ekspor Sawit Naik Jadi 10%”. Selam aini petani sawit yang jumlahnya sekitar 40 % juga telah dipaksan untuk ikut mensubsidi BBM, khususnya Bio solar.

Memet Hakim, (Kiri) Pengamat Sosial, dan ahli Sawit Pengamat Perkebunan, Dosen LB Fak. Pertanian Unpad

Anehnya Perusahaan Asing perkebunan yang jumlahnya hampir 60 %, tidak dikenakan kewajiban apapun selain pajak dan Pungutan ekspor, tidak ada Bagi Hasil sebagai implementasi dari UUD 45 pasa 33. Didalam Perpres ini justru hanya mengingat pasal 4 saja tentang kekuasaan presiden, tapi tidak menyertakan Pasal 33 yang menyentuk kepentingan rakyat. Dengan kata lain apa tujuan Perpres ini dibuat ? Untuk kepentingan kekuasaankah, untuk kepentingan bisniskah atau untuk kepentingan apa ?

Sertifikasi IPO menjadi wajib untuk semua pelaku, tetapi biayanya dibebankan kepada masing-masing, rasanya kok tidak nyambung. Seharusny ajika diwajibkan ya pemerintah yang menanggung seluruhnya. Sebagaimana halnya yang lain, setiap terbit kewajiban adanya ijin itu berarti ada uang yang harus dikeluarkan, membuat surat tanah benrbentuk girik (Surat Keterangan Tanah) dari Desa ke Camat saja perlu uang, apalagi sampai menjadi sertifikat tanah SHM, HGU atau HGB tentu uangnya semakin banyak.Di  BPN sekarang ini jika ada uangnya laut saja dapat dijadikan sertifikat, artinya apakah benar tujuan Perpres ini untuk hal seperti itu ?

Jika terkait dengan Hutan, pemerintah telah bertindak tepat dengan mengambul alih perkebunan yang didirikan di wilayah hutan dan dikelola oleh BUMN. Artinya kebun tersebut diresmikan menjadi kebun BUMN karena ada di Kawasan hutan. Pemerintah dapat membuat aturan mengkonversi status hutran menjadi sertikat HGU misalnya. Walau ini menggambarkan bahwa kalo pemerintah boleh salah, tapi rakyat tidak boleh salah. Bagaimanapun langkah ini patut diacungi jempol, tetapi belum menyelesaikan masalah.

Replanting yang digagas oleh BPDPKS terhambat masalah status lahan, hal ini perlu diakui bahwa perbitan sertifikat tanah banyak bermasalah, banyak kita baca lahan rakyat tiba-tiba dikuasai pengusaha sawit, tentu akibat ada ijin dan sertifikat juga. Artinya tidak selalu lahan bersertifikat itu benar, tetapi sah dimata hukum. Kita tidak dapat menutup mata dalam hal ini.

Setidaknya ada 3 segmen dalam Prepres ini yakni :

1.      Usaha Perkebunan Kelapa Sawit

Merupakan usaha tanaman perkebunan tradisional – modern, sejak pembibitan, tanam,panen dan pengolahan hasil menjadi barang setengah jadi yakni minyak sawit (CPO & PKO). Termasuk didalamnya pemanfaatan limbah minyak sawit menjadi pupuk dan listrik.

2.      Industri Hilir Kelapa Sawit

Merupakan usaha industri mengolah barang setengah jadi menjadi barang jadi seperti minyak goreng untuk memenuhi minyak goreng sendiri, mentega, sabun dan berbagai oleo kimia.

3.      Usaha Bioenergi Kelapa Sawit

Merupakan usaha industri mengolah barang setengah jadi dari minyak sawit menjadi Bio Diesel, Bio Gasoline, Bio Avtur dan Bio Gas untuk membantu kemandirian Energi.

Segmen pertama yang paling banyak masalah status pertanahan dan tumpeng tinding dengan Kawasan hutan. Masalah utama tumpeng tindih dikawasan huta tidak terlepas dari tanggung jawab pemerintah sendiri, Pemda, Kementerian Kehutanan dan ATR/BPN.

Masalah utama minyak sawit ini sebenarnya adalah rendahnya produktivitas, realisasi nasional sekitar 25-30% dari potensi sebenarnya. Jika potensi ini dapat dicapai Ketahanan Pangan (minyak goreng) dan Ketahanan Energi dapat dipecahkan.  Kebutuhan bahan baku akan tercukupi dengan baik, selanjutnya industri hilir Bioenergi dapat berkembang. Dengan adanya Perpres ini diperkirakan produksi nasional tidak akan bertambah, malah mungkin berkurang.

Pendapatan negara akan bertambah dengan sendirinya, jika perawatan tanaman lebih baik, replanting sesuai jadwal, penggunaan pupuk optimal, bukan dengan cara menaikan pajak atau mewajibkan seluruh kebun memiliki sertifikat ISPO. Mewajibkan ISPO berarti mempersulit usaha tani, pengembangan kebun dan mengurangi harga pokok produksi. Biarlah ISPO berjalan dengan sendirinya bagi yang membutuhkan, jangan sampai diwajibkan, hasilnya akan kontra produktif.

Membaca pasal 5, tentang sanksi, sungguh mengerikan, dari peringatan tertulis, denda, sampai penghentian sementara usaha kebun, ini artinya memberi peluang untuk bermain uang lagi, yang akhirnya negara sibuk menguruskan masalah teknis detil terpaku pada kekuasaan, dan lupa pada tujuan yang tertulis pada UUD 45 pasa 33.

Dunia bisnis biasanya menggunakan sertifikat untuk menjamin kualitas dan kuantitas produksi dan sebagai alat politik menghambat ekspor atau impor. Jadi ada aspek hukum/legal, tumpeng tindih dengan Kawasan hutan dan aspek agronomi. Jangan sampai secara soaial justru perpres ini merugikan rakyat yang sudah sudah hidupnya.

Luas daratan Indonesia 190 juta ha, termasuk areal hutan sebanyak 96 juta ha (50.5 %). yang terdiri dari “hutan primer” 47  juta ha, dan “hutan sekunder” 43.1 juta ha kemudian hutan tanaman 5.4 juta ha. Jika hutan primer dijadikan acuan minimal 35 % (pedoman umum 30%), maka dibutuhkan tambahan 19,5 juta ha menjadi 66.5 juta ha. Pemerintah harus mempunyai program membuat hutan sekunder menjadi hutan primer yang tidak boleh diganggu gugat seluas 19.5 juta ha. Areal Non hutan tercatat ada 92 juta ha. Sisanya oleh digunakan untuk kebun kelapa sawit yang produksi O2  nya lebih tinggi  2 x dari hutan.

Komoditi perkebunan ini sangat banyak macamnya, ada karet, coklat, kakao, tebu, teh, kopi, kina, cengkeh, dll, dll, mengapa yang harus memiliki sertifikat ISPO itu hanya kelapa sawit ? apakah hanya karena banyak uangnya, atau komoniti strategis.  Komoditi lainnya  bagaimana ?  Kewajiban pemerintah memberikan insentif berupa pupuk subsidi misalnya sangat menguntungkan kas negara walau tidak dinaikan tarifnya, menguntunkan petani dan pengusaha, tapi kenapa tidak dilakukan ? Jangan sampai pemerintah menjadi penghambat pekebun/pengusaha kebun yang ujungnya pemerintah juga yang dirugikan.

Sebenarnya produsi nasional minyak sawit dapat mencapai 130-140 juta ton dengan luasan kelapa sawit saat ini, jika pemerintah serius, produksi saat ini masih berkisar sekitar 50 juta ton saja, masih jauh dari ideal.

Untuk mengevaluasi kepatuhan terhadap UU, pengelolaan lingkungan hidup yang baik, Perlindungan ketenaga kerjaan, tanggung jawab sosial cukuplah laporan dari Dinas perkebunan, Dinas Sosial, Dinas Ketenaga Kerjaan, Dinas Lingkungan yang ada, tidak perlu ada tambahan biaya  sertifikasi lagi. Semoga jangan ada lagi kebijakan2 yang merugikan petani & pengusaha tani.


Bahan Pustaka :

1.      PERLUASAN SAWIT UNTUK KETAHANAN ENERGI DARI HUTAN SEKUNDER TERNYATA AMAN LINGKUNGAN.