Perpres No.66 Tahun 2025, Hendardi: Menguatnya Militerisme di Penegakan Hukum Sipil
JAKARTASATU.COM– Ketua Dewan Nasional SETARA Institute for Democracy and Peace Hendardi menanggapi Tentang Terbitnya Peraturan Presiden No.66 Tahun 2025 yang yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto.
“Setelah polemik pengerahan prajurit TNI dari Satuan Tempur dan Satuan Bantuan Tempur untuk pengamanan kejaksaan di seluruh wilayah NKRI, Presiden Prabowo bukannya memerintahkan Panglima TNI untuk melakukan penarikan dan pembatalan pengerahan pasukan TNI dimaksud, justru Prabowo mengeluarkan Peraturan Presiden No.66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara Terhadap Jaksa Dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia,” kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute for Democracy and Peace Hendardi kepada media dalam keterangan tertulis pada Senin (26/5/2025).
“Langkah tersebut salah kaprah dan bermasalah. Perpres 66/2025 keliru secara materiil dan formil, dari sisi muatan dan prosedur pembentukan. Menurut Pasal 13 UU No 12 Tahun 2011 tentang Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan,” sambungnya.
Ditegaskan Hendardi satu-satunya dasar hukum yang digunakan oleh Perpres 66/2025 adalah Pasal 4 UUD Negara RI tahun 1945 yang mengatur bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Perpres sama sekali tidak mendasarkan pada UU TNI padahal Perpres tersebut melegitimasi pengerahan pasukan TNI untuk pengamanan kejaksaan, bahkan Perpres tidak untuk merujuk UU Kejaksaan itu sendiri.
Lebih lanjut, secara hukum hal tersebut merupakan bentuk legalisme otokratis (autocratic legalism) yang menegaskan kecenderungan pemanfaatan hukum untuk kepentingan kekuasaan politik pemerintahan semata.
Dikemukakan Hendardi, dari sisi tata prosedural, Perpres tidak taat prosedur. Seharusnya pembentukan Perpres melalui dua prosedur, program penyusunan Perpres (Progsun) atau di luar progsun. Proses Perpres melalui Progsun panjang dan pasti memakan waktu lama. Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dapat mengajukan Rancangan Perpres di luar Progsun Perpres jika ada kebutuhan untuk melaksanakan UU atau putusan MA. Perpres melalui prosedur di luar Progsun dapat dilakukan dalam keadaan tertentu untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik, atau bencana alam. Patut diduga prosedur tersebut diterabas, untuk memberikan legitimasi secara cepat dan instan atas ‘main mata’ kejaksaan dan TNI yang dasar hukumnya juga salah yaitu MoU antara Kejaksaan dengan TNI. Secara objektif, tidak ada ancaman sistematis dan massif yang nyata terhadap kinerja kejaksaan dalam penegakan hukum sehingga membutuhkan peraturan perundang-undangan khusus dalam bentuk Perpres.
Perpres 66/2025 tersebut juga bermasalah, paling tidak karena dua dampak yang ditimbulkan. Pertama, pengamanan kejaksaan oleh TNI dalam jangka panjang akan melegalisasi pelibatan militer dalam proses-proses penegakan hukum oleh Kejaksaan. Kedua, Perpres akan secara lebih terbuka memantik gesekan dan mencampuradukan kewenangan khususnya antara tiga lembaga; Kejaksaan, Polri dan TNI.
“Alih-alih memberikan legitimasi bagi menguatnya militerisme dalam kelembagaan penegakan hukum sipil, Eksekutif Presiden seharusnya memberikan perhatian besar bagi perbaikan integritas dan profesionalitas dalam penegakan hukum,” hendardi menandaskan.
“Tak terhitung keterlibatan aparatur penegak hukum, di Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan dan Mahkamah dalam tindak pidana dari pungutan liar hingga korupsi, melemahkan penegakan hukum, dan menghancurkan kepercayaan publik pada proses penegakan hukum,” jelasnya.
Menurutnya, Presiden juga mesti memberikan perhatian besar bagi penegakan hukum militer dan peningkatan profesionalitas militer di bidang pertahanan, bukan malah menarik-narik militer ke dalam jabatan dan penegakan hukum sipil yang justru mendistraksi profesionalitas militer dalam pertahanan negara. (Yoss)