Foto: Amien Rais/tangkapan layar

JAKARTASATU.COM– Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Prof. Amien Rais, Prof. Amien Rais, melalui akun YouTube pribadinya, melontarkan kritik tajam terkait pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, khususnya PT Freeport Indonesia. Amien mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam menjalankan konstitusi “secara murni dan konsekuen”, sebuah frasa yang populer di era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Amien mengenang kunjungannya ke tambang Freeport di Mimika, Papua, pada Desember 1992, saat ia diundang oleh PT Freeport McMoRan. Saat itu, ia sudah merasakan kegaduhan nasional akibat keberadaan tambang tersebut yang dianggap banyak pakar ekonomi sebagai bentuk penjajahan ekonomi oleh Amerika Serikat.

“Tambang emas Freeport adalah nomor tiga terbesar di dunia, sedang tambang tembaganya nomor satu di dunia. Akan tetapi, dari tahun ke tahun pasokan sumbangan uang dari Freeport ke Jakarta hanyalah sekitar 1,5 persen dari besaran APBN Indonesia. Jadi, kecil sekali,” ungkap Amien Rais di akun YouTube-nya.

Selain minimnya kontribusi finansial, Amien menyoroti dampak lingkungan yang parah akibat keberadaan Freeport. Ia menyebutkan kehancuran ekologi di sekitar tambang, seperti Sungai Ajikwa yang keruh, hilangnya muara sungai akibat tumpukan limbah, serta lenyapnya Pulau Piriri dan Pulau Bidadari, dengan ancaman serupa untuk Pulau Kelapa dan Pulau Yabero.

“Penduduk yang meninggal makin banyak dan penderita penyakit paru-paru juga makin banyak,” tambahnya, menggambarkan penderitaan masyarakat lokal.

Menurut Amien, kehancuran ekosistem ini semakin parah, dan pelaksanaan UUD 1945, khususnya Pasal 33, dinilai semakin tidak murni dan tidak konsisten, seolah “sudah dibuang ke tong sampah.” Ia khawatir pemerintahan di bawah Prabowo akan melanjutkan atau bahkan melampaui skala “ekosida” yang terjadi selama 10 tahun terakhir di era Jokowi.

Yang paling disayangkan Amien Rais adalah perpanjangan kontrak Freeport. Seharusnya kontrak tersebut habis pada tahun 2021, namun justru diperpanjang hingga 2061, selama 39 tahun lagi. “Betul-betul bangsa kita dan para pemimpinnya mungkin merupakan kumpulan manusia tolol di planet bumi ini,” kritiknya.

Amien juga menceritakan pengalamannya setelah menulis artikel di Harian Republika yang menyebut Freeport sebagai “penjajahan kolonialisme dan imperialisme Amerika di Indonesia” serta “state within a state, bahkan a state above a state.” Tulisan ini, katanya, membuat Soeharto murka dan berujung pada kepergiannya dari Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) sebagai Ketua Dewan Pakar.

Kini, Amien kembali menyuarakan keprihatinannya. Ia berharap Indonesia bisa berubah menjadi lebih rasional dan segar, tidak lagi mentoleransi korporasi-korporasi asing yang dikemudikan oleh oligarki politik dan ekonomi. Ia menuduh Freeport telah dikuasai oleh unsur-unsur oligarki Amerika dengan bantuan “oligarki dalam negeri yang tolol, picik, dan hanya berpikir bagaimana ikut menguras sumber daya alam Indonesia.”

Pertanyaan mendasar Amien kini ditujukan kepada Presiden Prabowo: “Bisakah Pak Prabowo membebaskan Indonesia dari cengkaman kedua oligarki itu yang terjadi lewat state capture corruption?”

“Kalau ternyata tidak berani dan karena itu tidak mampu, saya tidak tahu apa yang kiranya mau dialami 290 jutaanan bangsa Indonesia di masa mendatang,” tutup Amien, sembari mengutip pidato kebudayaan Mochtar Lubis tahun 1977 yang menguak enam sifat manusia Indonesia, di antaranya hipokrit, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, dan berwatak lemah. (RIS)