GREAT Institute: Pembangunan Daerah Perlu Otonomi Daerah Yang Lebih Luas
JAKARTASATU.COM— Kesuksesan pembangunan pada intinya harus menempatkan daerah dan desa sebagai bagian utama strategi pembangunan. Partisipasi pemerintahan daerah yang tinggi dapat mensukseskan program inti Prabowo Subianto seperti ketahanan pangan, ketahanan energi, koperasi Merah Putih dan makan bergizi gratis.
Sebaliknya, pembangunan yang bersifat sentralistik, seperti di era sebelumnya, khususnya melalui kendali dominan atas anggaran pembangunan, dapat membuat pembangunan tidak tepat sasaran.
Demikian kesimpulan focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan GREAT Institute pada Senin 26/5/2015 yang dibacakan ketua dewan direkturnya Dr. Syahganda Nainggolan, di Jakarta siang tadi. Acara tersebut dihadiri para pakar otonomi daerah Dr. Arief Adillah (Politeknik Pengayoman Indonesia), Dr. Tito Sulistio (OJK), Dr. Endang Yuniastuti (Kemenaker), Riza Falepi (eks Walikota Payakumbuh), Siswanto (wakil ketua DPRD Blora), Dr. Ratri Istania (STIA LAN), Adhamsky Pangeran (Ikatan Ahli Perencanaan), Jilal Mardhani (NGO), Korneles Galanjinjinay (eks Ketum GMKI), Dr. Hefrizal Handra (Wakil Rektor Universitas Andalas) dan Bupati Lahat, Bursah Zarnubi.
Acara dengan tema “Mendorong Pemerataan Lewat Disain Ulang Hubungan Pusat-Daerah di Era Efisensi Anggaran” itu, dibuka oleh wakil Menteri Dalam Negeri, Dr. Bima Arya.
Bima Arya, pada kesempatan tersebut, menekankan bahwa langkah Prabowo Subianto adalah sebuah penegasan tentang cita-cita pendiri bangsa. Sebab, pendiri bangsa seperti Dr. Mohammad Hatta dan Dr. Syahrir, menurut Bima, meyakini bahwa pembangunan itu hanya sukses jika ditekankan pada pembangunan daerah dan desa. Lebih lanjut, Bima mengatakan bahwa cita-cita pendiri bangsa adalah sosialisme demokrasi, yang juga sedang dijalankan oleh Presiden Prabowo Subianto saat ini. “Saat ini era Neo Liberalisme sudah ditinggalkan. Prabowo pro rakyat miskin,” terang Bima.
Bursah Zarnubi, yang juga menjadi pemantik diskusi, menggaris bawahi pesan Prabowo Subianto dalam retreat para kepala daerah beberapa waktu lalu, bahwa program pembangunan itu harus 60% pada tingkat kabupaten/kota, 20% provinsi dan 20% pusat. Namun, sayangnya, menurut Bursah sampai saat ini pembangunan di daerah masih dikendalikan pusat. “kepalanya dilepas, tapi ekornya dipegang”, tegas Bursah.
Sementara itu, Dr. Ratri, dosen Lembaga Administrasi Negara, menyarankan agar kita tidak kembali pada era sentralistik. “Apabila pemilihan kepala daerah itu diserahkan lagi pada DPRD nantinya, seperti era lalu, maka kaum perempuan akan tersingkir”, terangnya. (Yoss)