web.pln.co.id/
web.pln.co.id/
JAKARTASATU.COM – Di balik pintu kaca gedung Kementerian ESDM yang dingin oleh udara pendingin, sebuah naskah besar peradaban sedang dibacakan. Siang itu, 26 Mei 2025, untuk pertama kalinya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034 diumumkan ke publik. Di atas kertas, ia terlihat seperti dokumen teknokratik: deretan angka, target gigawatt, peta transmisi, dan peluang investasi. Namun jika dibaca dengan mata yang jernih dan hati yang peduli, RUPTL ini adalah pernyataan tekad: Indonesia tidak lagi ingin hidup dalam bayang-bayang krisis energi. Ia ingin berdiri di atas kaki sendiri — mandiri, bersih, dan berdaulat.
Presiden terpilih Prabowo Subianto sebelumnya telah menggema dengan janji: “Pemerintah yang saya pimpin nanti akan fokus untuk mencapai swasembada energi.” Hari ini, janji itu mulai diberi bentuk dan arah. Melalui dokumen ini, PLN dan Kementerian ESDM bukan hanya menyusun rencana bisnis, tapi juga menyusun ulang arah sejarah. Karena untuk pertama kalinya, energi baru terbarukan — bukan batu bara atau gas — menjadi pemeran utama.
RUPTL PLN 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 26 Mei 2025
RUPTL PLN 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 26 Mei 2025
RUPTL PLN 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 26 Mei 2025
RUPTL PLN 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 26 Mei 2025
Dari target penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 gigawatt dalam satu dekade mendatang, sebanyak 61 persen atau 42,6 GW-nya bersumber dari energi baru terbarukan (EBT). Panel surya menjadi tulang punggung terbesar dengan 17,1 GW, disusul tenaga air sebesar 11,7 GW, angin 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi, hingga pembangkit listrik tenaga nuklir sebesar 0,5 GW. Di samping itu, sistem penyimpanan energi melalui PLTA pumped storage dan baterai akan menambah kapasitas hingga 10,3 GW. Sementara energi fosil — yang selama puluhan tahun menjadi fondasi kelistrikan nasional — kini menyusut drastis: gas hanya ditargetkan 10,3 GW dan batubara 6,3 GW.
Transisi ini tidak dilakukan sekaligus. RUPTL membagi jalurnya menjadi dua babak. Dalam lima tahun pertama (2025–2029), pembangunan masih memberi ruang cukup besar pada energi fosil, sebesar 45 persen. Tapi pada lima tahun kedua (2030–2034), peta berubah drastis: EBT menguasai 73 persen rencana pembangunan, sementara porsi fosil merosot ke angka 10 persen saja. Ini bukan sekadar peralihan, tapi revolusi energi yang berlangsung bertahap.
Yang menarik, transformasi ini tidak hanya menyala di kota-kota besar. Ia menyentuh hampir seluruh wilayah Indonesia. Di Jawa, Madura, dan Bali — kawasan dengan konsumsi listrik tertinggi — akan dibangun pembangkit EBT sebesar 19,6 GW. Sumatera menyusul dengan 9,5 GW, lalu Sulawesi 7,7 GW, Kalimantan 3,5 GW, dan kawasan timur Indonesia seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara sebesar 2,3 GW. Di banyak tempat, cahaya dari panel surya dan turbin angin akan menggantikan lampu teplok dan genset.
RUPTL PLN 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 26 Mei 2025
RUPTL PLN 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 26 Mei 2025
Namun RUPTL bukan hanya soal bagaimana energi diproduksi, tapi juga bagaimana energi menggerakkan roda ekonomi. Pemerintah menetapkan ambisi: pertumbuhan ekonomi 8 persen pada tahun 2029. Salah satu syaratnya adalah pasokan listrik yang cukup, stabil, dan terjangkau. Dari konsumsi listrik 306 terawatt-jam (TWh) pada 2024, ditargetkan naik ke 511 TWh pada 2034 — lonjakan 205 TWh dalam sepuluh tahun, atau rata-rata 21 TWh per tahun. Angka-angka ini tidak berdiri sendiri. Ia menyokong kawasan industri, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), destinasi pariwisata prioritas, hingga sektor kendaraan listrik nasional.
Semua ini tentu bukan tanpa biaya. Total nilai investasi yang dibuka pemerintah mencapai Rp2.967 triliun. Paling besar untuk pembangunan pembangkit: Rp2.133,7 triliun. Menariknya, sebanyak 73 persen dari investasi pembangkit itu ditujukan untuk sektor swasta (Independent Power Producer atau IPP), menandakan betapa besarnya peran investor dalam masa depan energi Indonesia. PLN tetap memainkan peran penting, tapi ekosistem bisnis energi kini menjadi arena kolaborasi.
Di balik semua pembangunan itu, ada sisi lain yang tak kalah penting: pekerjaan. RUPTL ini diproyeksikan akan menyerap lebih dari 1,7 juta tenaga kerja. Dari sektor transmisi, distribusi, pembangkitan, hingga operasi dan pemeliharaan. Yang paling membanggakan, lebih dari 91 persen pekerjaan ini merupakan “green jobs”, pekerjaan ramah lingkungan yang tak hanya menciptakan penghasilan, tapi juga menjaga planet ini tetap layak dihuni. Di sektor pembangkitan saja, dari total 836 ribu pekerjaan, lebih dari 760 ribu berasal dari energi terbarukan.
RUPTL PLN 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 26 Mei 2025
RUPTL PLN 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 26 Mei 2025
Tak berhenti di sana. Di sudut-sudut pedesaan yang selama ini masih gelap, RUPTL juga membawa terang. Melalui program Listrik Desa (Lisdes) periode 2025–2029, sekitar 780 ribu rumah tangga di pelosok akan mendapatkan akses listrik untuk pertama kalinya. Tambahan kapasitas pembangkit sebesar 394 MW disiapkan, dengan nilai investasi hingga Rp50 triliun. Ini bukan hanya soal lampu yang menyala, tapi tentang anak-anak yang bisa belajar di malam hari, ibu-ibu yang bisa mengakses informasi, dan petani yang bisa mengolah hasil panen dengan alat sederhana.
RUPTL 2025–2034 pada akhirnya bukan sekadar cetak biru kelistrikan. Ia adalah pernyataan sikap. Bahwa bangsa ini menolak untuk terus bergantung pada energi kotor dan impor mahal. Bahwa kita memilih jalan yang lebih hijau, lebih bersih, dan lebih adil. Jalan yang panjang dan penuh tantangan, tapi membawa kita menuju satu tujuan: kedaulatan energi.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia bisa. Tapi apakah kita berani. Karena masa depan energi Indonesia telah diberi nama — dan namanya adalah harapan.|WAW-JAKSAT
————————-
web.pln.co.id/
web.pln.co.id/
Sumber: RUPTL PLN 2025–2034, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 26 Mei 2025