x.com/@ramadhanaldi91
x.com/@ramadhanaldi91

Kapokmu Kapan?

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller*

“Keadilan itu seperti sinyal: kadang hilang, kadang kuat, tapi kalau kamu tinggal di menara gading dan dompet tebal, bisa full bar terus.”

Ada satu pertanyaan yang sejak lama menggantung di udara negeri ini, tapi entah kenapa, sampai saat ini belum juga turun sebagai jawaban, “Kapokmu kapan?”
Kapok mempermainkan hukum. Kapok memperlakukan keadilan sebagai dagangan. Kapok menjadikan kekuasaan dan koneksi sebagai rem darurat untuk lepas dari tanggung jawab.
Kita baru saja menyaksikan satu episode pahit lagi dalam sinetron hukum Indonesia. Mungkin bisa diberi judul yang sederhana begini, “Anak Hukum Meninggal, Anak Ekonomi Menghindar.”
Argo Ericko Achfandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, meninggal dunia setelah ditabrak mobil BMW. Pengemudinya, Christiano Pengarapenta Pengidahan Tarigan, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Keduanya anak bangsa. Tapi sayangnya, salah satunya sekarang tinggal nama.
Ironis. Yang belajar hukum justru menjadi korban dari sistem hukum yang pincang. Yang belajar ekonomi, tampaknya lebih cepat memahami teori proteksi aset -—termasuk aset pribadi bernama “kebebasan dari jerat hukum”.
Antara Duka dan Diam
Sejak kabar kecelakaan itu mencuat, publik sudah curiga. Bukan karena terlalu skeptis, tapi karena terlalu sering dikecewakan. Hukum di Indonesia, katanya, tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tapi belakangan, ia bahkan tak bergerak ke mana-mana. Hanya berputar di ruang-ruang rapat dan meja kuasa hukum.
Ketika seorang ibu korban bersuara dan menyebut bahwa keluarga pelaku datang bukan dengan simpati, melainkan pasukan pengacara, publik pun geram. Karena di negeri ini, sepertinya empati sudah lama ditukar dengan legal advice dan pasal karet.
Alih-alih ada proses hukum yang adil dan terbuka, yang terjadi justru keheningan. Tak ada penahanan. Tak ada keterangan resmi yang jelas. Yang ada hanya kabar bahwa sang ayah pelaku -—yang diketahui sebagai orang penting di perusahaan besar nasional, langsung turun tangan, bukan untuk menenangkan keluarga korban, tapi untuk menyelamatkan karier anaknya.
Netizen, Doxing, dan Dendam Digital
Nah, di tengah senyapnya penegakan hukum inilah, lagi-lagi warganet pun bergerak. Mereka bukan sekadar marah -—mereka frustrasi. Maka terjadilah doxing besar-besaran. Identitas pelaku disebar, silsilah keluarga dibongkar, sampai hubungan ayah pelaku dengan tokoh-tokoh penting pun diungkap. Semua ditelanjangi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apakah netijen Indonesia memang cekatan dan kejam?
“Kalau enggak viral, enggak ada keadilan,” begitu pembelaan mereka berdasarkan logika public yang dipercayai hari ini. Dan sepertinya itu memang, bukan tanpa alasan. Dalam banyak kasus, perhatian publik -—bukan hukum, yang menentukan arah keadilan.
Tapi pertanyaannya, “Apakah doxing ini jalan keluar? Atau justru jalan tikus yang mengantar kita ke jurang baru bernama main hakim sendiri?
Pakar komunikasi digital, Prof. Lasmono, mengatakan, “Media sosial telah menjadi ruang kompensasi dari sistem hukum yang tak dipercaya. Sayangnya, ruang ini bisa sangat liar. Satu klik bisa menghanguskan reputasi, bahkan sebelum pengadilan bicara.”
Ayah, Anak, dan Reputasi yang Meleduk
Cerita ini menjadi semakin rumit ketika ayah sang pelaku disebut sebagai pejabat tinggi di sebuah perusahaan swasta multinasional. Perusahaan yang dikenal menjaga reputasi dan etika kerja. Tapi bagaimana mungkin reputasi dijaga, jika ia justru ditarik masuk ke dalam pusaran krisis hukum dan moral seperti ini? Apakah aksi doxing netizen akan menyeretnya ke jurang keterpurukan?
Dalam teori komunikasi krisis, dikenal istilah “The Streisand Effect” -—semakin kamu mencoba menutup-nutupi sesuatu, justru semakin besar publik ingin membongkarnya. Maka langkah sang ayah membawa pengacara dan berusaha “menyelesaikan diam-diam” justru jadi bumerang. Reputasi yang dibangun bertahun-tahun bisa luntur dalam semalam. Hanya karena satu hal, tidak transparan menghadapi tragedi.
Albert Camus pernah menulis, “Keadilan tanpa belas kasih hanyalah bentuk lain dari kekejaman.” Dan di kasus ini, bukan hanya keadilan yang absen, tapi juga belas kasih.
Publik tak menuntut banyak. Mereka tahu tragedi bisa menimpa siapa saja. Tapi yang mereka harapkan adalah kejujuran, pertanggungjawaban, dan rasa kemanusiaan. Sayangnya, yang mereka lihat justru sebaliknya: ketertutupan, pembungkaman, dan kuasa yang bermain di balik layar.
Yang mereka pertanyakan bukan sekadar proses hukum, tapi nilai-nilai dasar yang seharusnya hidup di ruang akademik, di jantung kampus, di dalam keluarga, dan di negara hukum: tanggung jawab, empati, dan kejujuran.
x.com/@whycrymulu04
x.com/@whycrymulu04
Kapokmu Kapan?
Mari kita jujur sebentar. Ini bukan kali pertama kita menyaksikan skenario seperti ini. Anak orang penting terlibat kecelakaan, korban meninggal, publik marah, media sosial gaduh, pengacara datang, media diam, kasus hilang. Lalu?
Lalu kita lanjutkan hidup. Sampai tragedi serupa terjadi lagi. Dan kita kembali bertanya: Kapokmu kapan?
Bukan hanya kepada pelaku dan keluarganya. Tapi juga kepada aparat hukum, kepada universitas, kepada perusahaan tempat si ayah bekerja, dan kepada kita semua. Kapokmu kapan membiarkan keadilan hanya berlaku untuk yang lemah? Kapokmu kapan menganggap empati bisa diganti dokumen hukum? Kapokmu kapan mempercayai bahwa diam adalah jalan aman?
Jangan tunggu giliran! Hari ini Argo. Besok bisa siapa saja. Temanmu, keluargamu, atau bahkan dirimu sendiri. Jika sistem hukum tak segera berubah, jika publik terus dibiarkan menjadi alat keadilan alternatif yang liar, jika keluarga korban tak diberi ruang untuk mendapatkan kebenaran, maka jangan salahkan siapa-siapa ketika kepercayaan benar-benar runtuh.
Karena dalam masyarakat yang kehilangan harapan, bahkan kesedihan pun bisa berubah jadi dendam. Dan dendam digital, sayangnya, tak punya tombol undo.
“Keadilan bukan soal siapa kamu. Tapi soal apa yang kamu lakukan ketika kamu punya kuasa.” Semestinya seseorang yang masih percaya, keadilan tidak harus viral dulu baru turun tangan. Tabik

———————————

*) Penulis adalah jurnalis yang percaya bahwa kemanusiaan tidak bisa dinegosiasikan. Ia tidak punya BMW, tapi punya SIM empati dan STNK akal sehat.